Rudud

ANTARA MENJAGA DAKWAH DAN MENJAGA INDIVIDU (1)

Asy-Syaikh Hani bin Braik hafizhahullah

 

 

[sc_typo_arabic type=”regular” textalign=”center”] بسم الله الرحمن الرحيم[/sc_typo_arabic]

[sc_typo_arabic type=”regular” textalign=”right”] الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه وبعد[/sc_typo_arabic]

Ini merupakan risalah yang saya tulis pada masa yang sulit, minimalnya buat saya sendiri, di mana saya dan sebagian penuntut ilmu dan para dai sedang menangani sebagian kerancuan pemahaman dakwah yang muncul dari sebagian orang-orang yang memiliki keutamaan dan orang-orang penting yang darinya muncul peletakan kaedah-kaedah yang tidak sejalan dengan apa yang telah ditetapkan oleh para salaf. Risalah ini walaupun ringkas, namun saya menganggapnya akan membawa perkara yang sangat penting, yang akan mengatasi sebagian celah yang ada. Maka saya memohon kepada Allah agar menjadikannya bermanfaat.

MUQADDIMAH

Kebenaran adalah barang hilang dari seorang mukmin, dan nasehat merupakan tiang agama, tidak ada yang menentang dan menolaknya serta meremehkan pembawanya, kecuali orang yang menyombongkan diri. Di dalam hadits dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu bahwasanya Nabi shallallahu alaihi was salam bersabda:

[sc_typo_arabic type=”regular” textalign=”right”] «لا يدْخُلُ الجنةَ مَنْ كان في قلبه مثقالُ حبَّة من كِبْر»[/sc_typo_arabic]

“Tidak akan masuk syurga siapa saja yang di dalam hatinya ada kesombongan seberat biji sawi.”

Lalu ada seorang shahabat yang bertanya: “Sesungguhnya seseorang itu menyukai pakaiannya bagus dan sandalnya bagus?”

Maka Rasulullah shallallahu alaihi was salam menjelaskan:

[sc_typo_arabic type=”regular” textalign=”right”] «إنَّ اللهَ جَمِيْلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ، الْكِبْرُ: بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ»[/sc_typo_arabic]

“Sesungguhnya Allah indah dan menyukai keindahan, sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.”

(HR. Muslim no. 91 di dalam kitab Al-Iman bab Tahrimul Kibr wa Bayanuh, Abu Dawud no. 4091 di dalam kitab Al-Adab, bab Maa Ja’a fil Kibr, dan At-Tirmidzy no. 1999 di dalam kitab Al-Birr wash Shilah, bab Maa Ja’a fil Kibr.

Jadi inilah definisi sombong dan orang yang sombong berdasarkan nash dari Nabi shallallahu alaihi was salam, sehingga tidak perlu lagi penjelasan dari orang lain setelah adanya perkataan beliau – semoga shalawat Rabbku dan salam-Nya tercurah bagi beliau –

Sesungguhnya termasuk kebenaran yang wajib atas siapa saja yang menyandarkan kepada ilmu, baik ‘ulama, para dai, maupun para penuntut ilmu, untuk menerima nasehat dengan lapang dada, telinga yang mendengarkan dengan baik, serta jiwa yang siap dan tawadhu’ menerimanya, tanpa memandang siapakah orang yang membawanya, apakah dia masih muda atau sudah tua, apakah dia orang yang terkenal atau tidak dikenal, apakah dia musuh atau teman dekat, selama nasehat tersebut sesuai dengan al-haq dan kebenaran.

Alangkah bagusnya perkataan seorang penyair:

لا تحقرن الرأي وهو موافـق حكم الصواب   إذا بـــــدا مــــن ناقـــــــــــص
فالدر وهو أعز شيء يقتنــــــى ماحـط قيـمته هـــــــــــوان الغائـــــــــــــص

Jangan sekali-kali engkau remehkan sebuah pendapat jika sesuai yang benar

Hanya gara-gara yang membawanya orang yang memiliki kekurangan

Mutiara yang merupakan sesuatu yang paling berharga

Tidaklah berkurang nilainya walaupun ditelan binatang yang hina

Dan Allah telah berfirman:

[sc_typo_arabic type=”regular” textalign=”right”] أَلَا لِلَّهِ الدِّين الْخَالِص[/sc_typo_arabic]

“Ketahuilah, hanya untuk Allah saja agama yang murni.” (QS. Luqman: 3)

Agama yang murni untuk Allah adalah yang niatnya hanya untuk Allah dan benar di atas sunnah Rasulullah shallallahu alaihi was salam. Nasehat di dalam agama adalah menjernihkan dan mensucikan pihak yang dinasehati tanpa adanya kecurangan padanya serta menginginkan kebaikan untuknya.

Oleh karena inilah telah datang di dalam hadits Tamim Ad-Dary radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi was salam bersabda:

[sc_typo_arabic type=”regular” textalign=”right”] «الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ»[/sc_typo_arabic]

“Sesungguhnya agama adalah nasehat.”

Kami bertanya: “Untuk siapa?” Beliau menjawab:

[sc_typo_arabic type=”regular” textalign=”right”] «لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ»[/sc_typo_arabic]

“Untuk Allah, untuk Kitab-Nya, untuk Rasul-Nya, untuk para pemimpin kaum Muslimin dan untuk mereka secara keseluruhan.”

(HR. Muslim di dalam kitab Al-Iman no. 55 di dalam kitab Al-Iman, bab Bayan Annad Diina An-Nashihah, Abu Dawud no. 4944 di dalam kitab Al-Adab, bab An-Nashihah serta An-Nasa’iy 7/156 di dalam kitab Al-Bai’ah. Bab An-Nashihah lil Imam)

Dalam Ash-Shahihain dari hadits Jarir bin Abdillah Al-Bajali radhiyallahu anhu, dia berkata: “Amma ba’du, sesungguhnya saya mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi was sallam lalu saya berkata; ‘Saya berbaiat kepada Anda di atas Islam.’ Lalu beliau menetapkan syarat kepada saya agar saya menyampaikan nasehat kepada setiap muslim, maka saya pun membaiat beliau dengan hal tersebut.”

(HR. Al-Bukhary 1/128 dan 129 di dalam kitab Al-Iman, kitab Mawaqitush Shalah, kitab Az-Zakat, kitab Al-Buyu’, kitab Asy-Syuruth dan kitab Al-Ahkam, serta diriwayatkan Muslim no. 56 di dalam kitab Al-Iman, Abu Dawud no. 4945 di dalam kitab Al-Adab dan An-Nasa’iy 7/152 di dalam kitab Al-Bai’ah)

Dalam lafazh lain, pada riwayat As-Sunan dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu disebutkan bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi was salam bersabda:

[sc_typo_arabic type=”regular” textalign=”right”] «…والمسلمُ أخو المسلمِ، لا يَخْذُلُهُ ولا يَكْذِبهُ ولا يَظْلِمُهُ، وَإِنَّ أحدَكُم مرآةُ أخيهِ، فَإِنْ رَأى بهِ أذى فَليُمِطْهُ عنه» [/sc_typo_arabic]

“…Seorang muslim adalah saudara muslim yang lainnya, tidak boleh menghinanya, tidak boleh berdusta kepadanya dan tidak boleh menzhaliminya, dan sesungguhnya salah seorang dari kalian adalah cermin bagi saudaranya (sesama muslim), maka jika dia melihat ada kotoran pada saudaranya tersebut hendaklah dia menghilangkan darinya.”

(HR. At-Tirmidzy no. 1927, 1928 dan 1930 di dalam kitab Al-Birr wash Shilah, bab Maa Ja’a Fii Syafaqatil Muslim Alal Muslim, dan ini adalah hadits hasan)

Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, Dia akan menjadikan orang-orang di sekelilingnya sebagai pemberi nasehat dan melindunginya dari orang-orang yang suka menipu dan suka basa-basi yang mereka ini tidak henti-hentinya menimpakan kesusahan kepadanya dan tidak mempedulikan apa yang mereka dapatkan dengan memanfaatkan kedudukan di sisinya.

Setelah kata pengantar ini, maka saya katakan – dan hanya karena Allah saja saya memaksudkan tulisan –:

Sesungguhnya dengan tulisan ini saya hanyalah bermaksud untuk menasehati orang-orang yang terjun dalam mendakwahkan agama Allah dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah para pengikut Salafush Shalih, yang mereka tidak mengedepankan apapun di hadapan Kitabullah, sunnah Rasulullah shallallahu alaihi was salam, dan manhaj para shahabat yang mulia -semoga Allah meridhai mereka- serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Saya tidak mengkhususkan terhadap sebuah negeri atas negeri yang lain karena dakwah Ahlus Sunnah adalah satu sehingga tidak mengenal batas atau wilayah. Jadi prinsip-prinsip dan parameternya satu, tidak akan berubah dan tidak akan berganti karena perubahan zaman dan tempat, karena itu merupakan dakwah Islam yang benar dan cocok di setiap tempat dan waktu.

Saya mengkhususkan tulisan saya ini dengan dua perkara yang termasuk hal-hal yang menjadi perintang dakwah yang benar yang mana penopangnya adalah sikap komitmen dengan Al-Kitab dan As-Sunnah serta manhaj pendahulu umat ini yang saleh. Dua perintang dakwah ini bahayanya tersembunyi pada adanya sikap sebagian orang-orang yang memiliki keutamaan dan keshalihan serta para dai yang menyangka bahwa kedua hal hal ini termasuk sebab-sebab untuk menjaga dakwah dan kemaslahatannya, namun lalai dalam menilai benar tidaknya sangkaan dan ijtihad ini dengan prinsip-prinsip yang tetap dan kaedah-kaedah yang kokoh dari manhaj Salafush Shalih.

Maka ketika mereka disikapi dengan hal yang menyelisihi ijtihad dan pendapat yang mereka yakini, mereka pun beralasan bahwa pendapat yang mereka yakini mengandung mashlahah bagi dakwah dan dengannya dakwah akan terjaga, dan pihak yang menyelisihi mereka tidak memperhatikan mashlahah ini. Padahal hakekatnya tidak lain hanya mashlahah yang hanya sebatas dugaan yang berusaha direalisasikan dengan ijtihad yang menyelisihi jalan yang ditempuh Salafush Shalih. Ijtihad apa pun yang menyelisihi jalan yang ditempuh oleh Salafush Shalih maka tidak bisa diterima. Karena mendakwahkan agama Allah ini bukan semata ijtihad atau anggapan-anggapan baik dari pribadi-pribadi tertentu, sebagaimana fakta menunjukkan bahwa ijtihad semacam ini akan menyebabkan upaya terus menjaga individu-individu/pribadi-pribadi tertentu betapapun parahnya kesalahan mereka. Justru dakwah tidak terjaga dengannya, karena menjaga dakwah adalah dengan menetapkan kebenaran agama Allah serta menolak semua yang menyelishi kebenaran ini.

Termasuk ciri khusus yang membedakan dakwah Ahlus Sunnah dengan selainnya adalah sikap komitmen yang sempurna dengan kebenaran yang ditempuh salafush shalih yang tidak menyisakan ruang untuk memunculkan hal-hal baru yang tidak ada contohnya di dalam agama Allah ini. Dengan manhaj inilah agama Islam akan terjaga.

Sungguhnya saya benar-benar ingin menegaskan di depan tulisan saya ini bahwa, ijtihad mana saja yang menyelisihi manhaj Salafush Shalih dalam semua permasalahan agama maka itu tertolak, siapapun yang membawanya, walaupun kedudukannya di dalam ilmu dan dakwah telah sedemikian tinggi. Karena sesungguhnya kesalahan dan penyelisihan terhadap manhaj Salaf tidak boleh dilakukan walaupun oleh seorang Ahlus Sunnah yang shalih. Jadi kesalahan harus selalu dibantah, siapapun orang yang membawanya. Jika orang yang salah tersebut adalah orang yang memiliki keutamaan, maka diberi udzur dengan ungkapan dan isyarat yang baik, namun tidak boleh menyetujui dan mengikuti kesalahan tersebut. Prinsip ini telah tetap di kalangan Ahlus Sunnah.

Pada kesempatan yang singkat ini, saya ingin menyingkap terlebih dahulu, apakah kedua perintang utama dakwah tersebut? – yang saya singgung di atas, sebelum saya menjelaskannya lebih jauh – Kedua perintang tersebut telah disangka sebagai maslahat dan upaya menjaga dakwah, padahal faktanya adalah sebaliknya, justru merugikan dakwah.

Perintang Pertama adalah, pujian yang melampaui batas atau berlebihan. Maksudnya di sini secara khusus adalah melampaui batas dalam memuji para ulama dan para dai serta para penuntut ilmu.

Perintang Kedua adalah, mendiamkan kesalahan orang yang salah dari kalangan Ahlus Sunnah, mencela orang yang mengingkari kesalahan tersebut, serta berlebihan dalam memuji orang yang salah karena ingin melembutkan hatinya.

Inilah yang ingin saya singkap, yang berkaitan tentang penyelisihan terhadap manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Walaupun perkara ini mungkin tampak jelas bagi banyak orang, namun dari sisi prakteknya atau faktanya di lapangan kita melihat sikap menyelisihi perkara ini sangat jelas.

Akibatnya muncullah manhaj baru yang dipakai oleh sebagian orang-orang shalih dan menyandarkankannya kepada manhaj yang benar. Semua itu muncul dari mereka dengan niat yang baik dan keinginan untuk menciptakan ishlah (perbaikan).

Tidaklah salah jika kita katakan bahwa: sesungguhnya jalan semacam ini adalah hasil ijtihad pribadi yang tidak pada tempatnya. Dan munculnya dari orang-orang yang memiliki keutamaan tidaklah menghalangi untuk menyatakannya sebagai sebuah kesalahan sebagaimana yang telah saya singgung, dan menyikapinya dengan sikap kritis dan menilainya dengan manhaj salaf yang insya Allah kita semuanya selalu komitmen dengannya baik dengan perkataan maupun perbuatan.

Cara inilah yang hakekatnya akan menjadi sebab terjaganya kemuliaan pribadi-pribadi tersebut, bukan dengan cara yang lain. Adapun menjaga dakwah tidaklah akan terwujud kecuali dengan menjaga prinsip-prinsip pokok agama ini dan parameternya, yaitu dengan cara menetapkannya berdasarkan dalil-dalil syariat ini serta selalu menjaga agar tidak terdapat celah padanya, serta membantah siapa saja yang menyelisihinya dengan hujjah, penjelasan, hikmah, nasehat yang baik, serta diskusi dengan cara yang terbaik.

Saya tidak menyangka bahwa mendiskusikan masalah seperti ini akan menggoncang seorang pun yang memuliakan manhaj salaf dan dia komitmen dengannya. Bahkan justru akan menyenangkan siapa saja yang benar-benar menginginkan kebaikan dan melakukan perbaikan. Bukan orang yang ingin bersikap berlebihan di dalam memuliakan pribadi-pribadi tertentu dan melampaui batas-batas syariat. Tulisan ini saya beri judul “Antara Menjaga Dakwah dan Menjaga Pribadi Tertentu.” Adapun pembicaraannya secara rinci akan menyusul Insya Allah.

Sumber:
http://wahyain.com/forums/showthread.php?t=2870

Terbaru

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button