Rudud

KRITIK ILMIAH TERHADAP MUHAMMAD AL-IMAM

MUHAMMAD AL-IMAM MENGATAKAN : KITA TIDAK AKAN BERPERANG KECUALI APABILA DIUTUS NABI dan MENGUCAPKAN NASH (TEKS DALIL YANG PASTI) UNTUK MEMERANGINYA

Muhammad al-Imam mengatakan,

“Apabila diutus Nabi dan mengatakan kepada kita “Peranginglah sejumlah kaum muslimin” niscaya kami akan berperang dan tidak akan rujuk darinya. Adapun seperti yang kalian dengar, ada orang yang datang kemudian membuat fron pertempuran dan memprovokasi kaum muslimin untuk berperang. Atau mendirikan sebuah partai untuk itu, dan memprovokasi kaum muslimin untuk berperang … dst. Cara-cara seperti ini tidak bisa kita terima, dan TIDAK AKAN DITERIMA OLEH ALLAH. Itu termasuk fitnah dan penyimpangan yang sangat besar. Betapa banyak terjadi, bahwa ternyata dibalik itu adalah tangan-tangan makar busuk. Menjual dan melakukan konspirasi terhadap kaum muslimin. Maka yang diharuskan adalah waspada dengan kewaspadaan yang tinggi dari berbagai seruan yang mengajak kepada fitnah. Laahaula wa laa quwwata illa billah.”

BANTAHAN :
Muhammad al-Imam telah menafikan memerangi kaum muslimin, kecuali apabila diutus Nabi kemudian mengucapkan nash (pernyataan tegas) tentang hal itu (yaitu perintah memerangi kaum muslimin, pen).
Atas dasar ucapan Muhammad al-Imam tersebut, maka tidak boleh memerangi kelompok-kelompok yang telah ada banyak nash (dalil tegas) memerintahkan untuk memeranginya walaupun mereka muslimin. Di antaranya :

1   Memerangi kaum Khawarij. Mereka adalah muslimin, menurut pendapat yang benar.

2 Memerangi kaum pemberontak, para pembelot terhadap penguasa, karena mentakwil (dalil-dalil syar’i, sehingga salah dalam memahaminya).

3  Memerangi kelompok pemberontak. Sebagaimana firman Allah, “Perangilah kelompok yang memberontak sampai mereka mau kembali kepada perintah Allah.”

4  Memerangi kelompok-kelompok penjahat. Seperti, para perampok dan para pengedar narkoba, dan lain-lain.

Mereka adalah KAUM MUSLIMIN, namun Allah mensyari’atkan untuk MEMERANGI MEREKA, dengan batasan-batasan yang telah disebutkan oleh para ‘ulama.

Sementara yang dipahami dari ucapan al-Imam – waffaqahullah – bahwa meskipun ada sebab-sebab untuk memerangi mereka yang tersebut di atas, maka TIDAK BOLEH SEORANG MUSLIM MEMERANGI MEREKA. Namun harus ditunggu, sampai diutus Nabi. Kalau Nabi itu mengizinkan, maka ketika itu boleh untuk (berperang) membela diri, karena sudah diizinkan.
Jadi, izin syar’i tidaklah diambil kecuali langsung dari mulut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun ayat-ayat al-Qur`an dan hadits-hadits shahih yang menjelaskan disyari’atkannya menghalau mereka, maka itu belum cukup.

Oleh karena itu, pembaca jangan heran dari dua hal :

Pertama : Ternyata Muhammad al-Imam mengeluarkan fatwa tertulis, di dalamnya dia memperingatkan (melarang, pen) penduduk Kota Laudir dari memerangi Al-Qaedah demi mempertahankan kotanya.
Padahal orang-orang Al-Qaedah datang ke negeri mereka (penduduk Laudir). Kalau bukan karena Allah membantu penduduk Laudir, sehingga bersatulah barisan mereka, dan mereka pun memerangi Al-Qaedah dengan (mempertaruhkan) jiwa-jiwa mereka, menghadang Al-Qaedah dari kota, sehingga mereka pun berhasil mendapat kemenangan besar, niscaya kota Laudir tersebut akan jatuh di bawah api peperangan antara Negara dengan Al-Qaedah hingga hari ini. Mereka telah menderita karena itu pada tahun-tahun sebelumnya.

KEDUA : Apabila diketahui, ternyata Muhammad al-Imam TIDAK MEMBOLEHKAN untuk MELAWAN RAFIDHAH HUTSIYYIN, karena memang Muhammad al-Imam memandang mereka itu masih muslimin. Atas dasar itu, maka tidak disyari’atkan memerangi mereka. Juga mereka (Rafidhah) tidak bisa disamakan hukumnya dengan Khawarij minimalnya, yang Khawarij itu boleh diperangi apabila mereka menyerang.

Muhammad al-Imam berpandangan tidak disyariatkan bagi penduduk suatu negeri untuk menghalau Rafidhah, dan tidak boleh memerangi mereka. Bahkan sebuah negeri diserahkan kepada mereka. Walaupun mereka memerangi di negerimu sendiri dan menjajah negerimu, serta bermaksud merusak di negerimu dengan menghancurkan rumah-rumah, melanggar kehormatan, meledakkan rumah-rumah, memberhentikan para imam masjid dan menggantinya dengan para imam masjid yang setuju dengan aqidah Rafidhah. Atau mendirikan pos-pos pemeriksaan. Menyebarkan paham Rafidhah melalui buku-buku pustaka syi’ah, dan pendirian husaniyyah-husainiyyah.

Itu semua belum cukup bagi Muhammad al-Imam, meskipun hal yang serupa terjadi juga di tempat-tempat lainnya. Itu semua tidak menjadi alasan yang cukup – walaupun seperseratus – bagi pihak yang berpendapat bolehnya melawan mereka (Rafidhah), supaya pendapatnya naik menjadi termasuk permasalahan ijtihadiyyah (minimalnya, pen).

Padahal, para ‘ulama tidak ada perbedaan akan bolehnya melawan kaum Rafidhah dan melakukan tindakan siaga menghadapi kemungkinan terkecil yang bisa terjadi. Berdasarkan firman Allah : “Wahai orang-orang beriman, bersiapsiagalah kamu … . ” (QS. An-Nisa’ : 71)

Dinukil dari “Waqafaat ma’a asy-Syaikhain : al-Bura’i wa al-Imam” oleh asy-Syaikh al-Fadhil ‘Ali bin Husain al-Hudzaifi hafizhahullah.

WhatsApp Miratsul Anbiya Indonesia

Terbaru

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca juga
Close
Back to top button