FatawaManhaj

Penjelasan Tentang Kaidah, “Barangsiapa yang tidak mentabdi’ seorang mubtadi’, maka dia mubtadi’ juga”

Penjelasan Tentang Kaidah, “Barangsiapa yang tidak mentabdi’ seorang mubtadi’, maka dia mubtadi’ juga”

Asy-Syaikh DR. Ahmad Bazmul hafizhahullah

“Barangsiapa yang tidak mentabdi’ seorang mubtadi’, maka dia mubtadi’ juga”, pernyataan ini dibatasi dengan beberapa batasan,

1. Ilmu. Sesungguhnya barangsiapa yang tidak mengetahui bid’ah, dan tidak mengenal bahwa itu adalah bid’ah, sehingga dia tidak mentabdi’ seorang mubtadi karena kejahilannya, maka dia tidak dikatakan sebagai mubtadi’ juga. Demikian pula tidak dipersyaratkan dia harus tahu semua orang untuk dia tabdi’.

2. Penempatan kaidah tersebut adalah setelah ditegakkannya hujjah terhadap pengusung bid’ah.  Apabila itu sudah dilakukan, namun dia terus di atasnya, maka dia mubtadi’. Adapun barangsiapa yang terjatuh pada kebid’ahan, boleh dia disebut dengan bid’ah tersebut, namun tidak boleh dihukumi (divonis) dengan bid’ah (sebagai mubtadi’, pen) kecuali setelah ditegakkan hujjah atasnya.

3. Sikap tidak mau mentabdi’ itu terjadi setelah dia tahu bahwa itu adalah bid’ah, kemudian dia tetap tidak mau menyifatinya sesuai dengan konsekuensinya (bid’ah tersebut). Maka dia bisa jadi setuju dengan orang (mubtadi’) tersebut, atau bisa jadi antara dia dengan mubtadi’ ada pertemanan. Dalam dua kondisi ini, dia disifati sebagai pengusung bid’ah. Kalau dia sudah dinasehati dan ditegakkan hujjah kepadanya, maka dia dihukumi sesuai dengan konsekuensi bid’ah (yakni mubtadi’, pen).

Asy-Syaikh as-Suhaimi ada suara terekam, padanya terdapat penjelasan tentang kaidah ini seperti yang aku sebutkan. Wallahu a’lam.

Sumber http://goo.gl/QKzkD1

Terbaru

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca juga
Close
Back to top button