SILSILAH RAGAM HUKUM TERKAIT ‘IED

SILSILAH RAGAM HUKUM TERKAIT ‘IED

1. HUKUM SHALAT ‘ID

Pertanyaan:
“Shalat ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha, hukumnya wajib ataukah sunnah? Dan dosa apakah yang akan ditanggung oleh seseorang yang meninggalkannya?

Jawaban:
Shalat ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha hukumnya FARDHU (wajib) KIFAYAH. Sebagian ulama lainnya berpendapat : hukumnya FARDHU ‘AIN sebagaimana shalat jum’at. Maka tidaklah sepantasnya bagi seorang muslim untuk meninggalkannya.

Wa billahi at-taufiq, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, dan para sahabatnya.

Al-Lajnah ad-Da’imah Lil Buhuts al-‘Ilmiyyah wal Ifta’ nomor 9555.

Majmu’ah Manhajul Anbiya

2. HUKUM SHALAT ‘ID

Asy-Syaikh al-‘Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin Baz Rahimahullah :
“Shalat ‘Id FARDHU KIFAYAH menurut pendapat kebanyakan para ‘ulama, boleh ada sebagian orang tertinggal tidak menghadiri shalat ‘Id. Namun kehadiran dia dan turut serta bersama-sama saudara-saudaranya kaum muslimin dalam shalat ‘Id merupakan SUNNAH MU’AKKADAH tidak boleh ditinggalkan tanpa ada udzur syar’i. Sebagian ‘ulama lainnya berpendapat bahwa shalat ‘id hukumnya adalah FARDHU ‘AIN seperti Shalat Jum’at. Maka TIDAK BOLEH seorang pun mukallaf dari kalangan pria merdeka yang mukim untuk meninggalkannya. Pendapat ini LEBIH TEPAT dan LEBIH DEKAT KEPADA KEBENARAN. Disunnahkan bagi kaum wanita untuk menghadirinya juga, namun DENGAN TETAP MEMPERHATIKAN :
▪ HIJAB,
▪ MENUTUP AURAT, dan
▪TIDAK MENGENAKAN MINYAK WANGI/PARFUM
Ini berdasarkan hadits yang telah pasti/sah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam “ash-Shahihain” dari Ummu ‘Athiyyah Radhiyallahu ‘anha bahwa dia berkata,

[sc_typo_arabic type=”regular” textalign=”right”] «أمرنا أن نخرج في العيدين العواتق والحيض ليشهدن الخير ودعوة المسلمين وتعتزل الحيض المصلى  »[/sc_typo_arabic]

“Kami diperintah untuk mengajak keluar pada dua hari raya : para gadis dan para wanita haidh. Agar mereka bisa menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Namun para wanita haidh menjauhi tempat shalat.” (HR. al-Bukhari 324, Muslim 890)

Pada sebagian lafazh lainnya,

[sc_typo_arabic type=”regular” textalign=”right”] «فقالت إحداهن: يا رسول الله لا تجد إحدانا جلبابا تخرج فيه، فقال صلى الله عليه وسلم: لتلبسها أختها من جلبابها »[/sc_typo_arabic]

Salah seorang di antara kami ada yang mengatakan, “Wahai Rasulullah, ada seorang dari kami tidak memiliki jilbab yang dengannya dia bisa keluar.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab, “Hendaknya saudaranya memakaikan (meminjamkan) dari jilbab miliknya.” (HR. Ahmad 20269, Ibnu Majah 1307)

Tidak diragukan, bahwa ini menunjukkan DITEKANKANNYA kaum wanita untuk keluar/berangkat juga guna melaksanakan shalat ‘Id, supaya mereka bisa menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin.
Majmu Fatawa Ibn Baz 13/7-8

Majmu’ah Manhajul Anbiya

3. HUKUM JUM’AT DAN SHALAT JUM’AT KETIKA BERTEPATAN DENGAN HARI RAYA (‘ID), dan
Masalah BENARKAH WANITA WAJIB SHALAT JUM’AT MESKIPUN DI RUMAHNYA

Tanya : Bahwa ada seorang yang menyampaikan fatwa-fatwa, bahwa :
▪ Gugur kewajiban shalat Jum’at dan shalat Zhuhur bagi barangsiapa yang telah hadir shalat ‘Id pada hari Jum’at, baik imam maupun makmum.
▪ Kewajiban shalat Jum’at bagi kaum wanita meskipun di rumahnya.
Maka jama’ah meminta agar permasalahan ini diangkat kepada majelis yang mulia ini, agar mereka mendapatkan faidah keterangan yang benar dalam masalah ini.”

Jawab :
1. PERTAMA : Apabila bertepatan Hari Raya ‘Id dengan hari Jum’at maka GUGUR KEWAJIBAN untuk menghadiri Shalat Jum’at bagi barangsiapa yang telah hadir Shalat ‘Id, kecuali bagi imam, maka kewajiban Jum’at tidak gugur darinya. Kecuali apabila tidak ada orang yang hadir shalat Jum’at. Di antara yang berpendapat demikian : asy-Sya’bi, an-Nakha’i, al-Auza’i. Ini juga merupakan pendapat shahabat ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Sa’id, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Zubair, dan para ‘ulama yang sependapat dengan mereka. Dasar pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Iyyas bin Abi Ramlah asy-Syami :

[sc_typo_arabic type=”regular” textalign=”right”] «شهدت معاوية يسأل زيد بن أرقم: هل شهدت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم عيدين اجتمعا في يوم واحد؟ قال: نعم، قال: فكيف صنع؟ قال: صلى العيد ثم رخص في الجمعة، فقال: من شاء أن يصلي فليصل »[/sc_typo_arabic]

Aku menyaksikan Mu’awiyah bertanya kepada Zaid bin Arqam, “Apakah Anda hadir bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam 2 hari raya yang bertepatan dalam satu hari (yakni ‘Id dan hari Jum’at bertepatan dalam satu hari, pen)?. Zaid menjawab, “Iya” Mu’awiyah bertanya, “Apa yang beliau lakukan?” Zaid menjawab, “Beliau shalat ‘Id dan memberikan rukhshah (dispensasi/keringanan) untuk shalat Jum’at (yakni boleh tidak hadir Jum’at, pen), dengan mengatakan, “Barangsiapa yang mau shalat Jum’at silakan shalat.” (HR. an-Nasa’I 1591, Abu Dawud 1070)

dan berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh shahabat Abu Hurairah, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,

[sc_typo_arabic type=”regular” textalign=”right”] «اجتمع في يومكم هذا عيدان؛ فمن شاء أجزأه عن الجمعة، وإنا مجمعون  »[/sc_typo_arabic]

“Pada hari ini, bertepatan dua hari raya (Hari ‘Id dan Hari Jum’at), barangsiapa yang mau maka Shalat ‘Id itu telah mencukupinya dari Shalat Jum’at. Namun kami tetap melaksanakan Jum’at.”
(HR. Abu Dawud 1073, Ibnu Majah 1311)

Barangsiapa yang gugur darinya kewajiban menghadiri Shalat Jum’at, maka dia tetap MELAKSANAKAN SHALAT ZHUHUR.

2. KEDUA : Shalat Jum’at disyari’atkan untuk kaum pria. KAMI TIDAK MENGETAHUI ADANYA DALIL YANG MENUNJUKKAN DISYARI’ATKAN SHALAT JUM’AT UNTUK KAUM WANITA DI RUMAH MEREKA.

Iya, apabila wanita melaksanakan shalat Jum’at bersama imam (di masjid, pen) maka itu sah, namun tidak wajib baginya.

Ibnu Qudamah mengatakan,

[sc_typo_arabic type=”regular” textalign=”right”] (أما المرأة فلا خلاف في أنها لا جمعة عليها)[/sc_typo_arabic]

“Adapun untuk wanita, tidak ada perbedaan pendapat bahwa TIDAK ADA KEWAJIBAN JUM’AT ATASNYA.”

Ibnu al-Mundzir mengatakan,

(أجمع كل من نحفظ عنه من أهل العلم: أن لا جمعة على النساء)

“Telah berijma (sepakat) semua ‘ulama yang aku hafal dari mereka, bahwa TIDAK ADA KEWAJIBAN JUM’AT ATAS KAUM WANITA.” Karena memang kaum wanita tidak bisa hadir di tempat yang di situ kaum pria berkumpul. Oleh karena itu, tidak wajib pula atas kaum wanita shalat berjama’ah (di masjid, pen).
Al-Lajnah ad-Da’imah li al-Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta’
Fatwa no : 2140
Ketua : ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz

*) ket : ada sedikit perubahan pada teks pertanyaan , yakni pertanyaan ketiga sengaja tidak kami sertakan. Jawaban untuk pertanyaan ketiga juga tidak kami sertakan.

Majmu’ah Manhajul Anbiya

4. KEHADIRAN ANAK-ANAK ke MUSHALLA (TEMPAT SHALAT) ‘IED

Pertanyaan:
“Kebiasaan di negeri kami terkhusus bagi anak-anak, ketika pada hari id mereka datang ke mushala (tempat shalat ‘ied) namun tidak melakukan shalat, hanya duduk-duduk saja di sekitar masjid, mengangkat suara karena gembira pada hari id. Mereka (anak-anak,-pen) mengganggu orang-orang shalat, sehingga tidak bisa mendengarkan khutbah id, dan terus melakukan perbuatan seperti ini hingga orang-orang keluar (dari mushalla) dan kembali (ke rumah-rumah mereka,-pen). Aku telah berusaha mengingatkan mereka akan tetapi tidak bermanfaat. Aku berharap dari Anda jawaban terhadap kebiasaan ini, yang terus terulang pada anak-anak dari generasi ke generasi, disertai dengan penjelasan.

Jawab:
“Anak-anak JANGAN DILARANG untuk hadir di mushalla Id terlebih lagi yang berumur tujuh tahun, karena sabda Nabi shallahu alaihi wa sallam, “Perintahkan anak-anak kalian untuk shalat pada umur tujuh tahun, pukullah mereka (apabila tidak mau mengerjakan shalat,-pen) pada umur sepuluh tahun, dan pisahkan kamar tidur mereka (antara laki-laki dan perempuan,-pen).”

Akan tetapi mereka DINASEHATI dan DIBIMBING untuk melakukan adab-adab Islam, memperhatikan tata cara shalat, hak-hak orang yang shalat, mendengarkan khutbah, dan janganlah (anak-anak) ramai karena dikhawatirkan mengganggu sang khatib dan jama’ah yang mendengarkan khutbahnya. ayah dan wali harus memperhatikan (anak-anak) pada perkara tersebut (yang telah di sebutkan,-pen). Hendaknya mereka mendidik dan mengontrol, dan hendaknya bagi para bapak untuk memberikan kepada anak-anak hukuman yang pantas, tidak terlalu keras dan tidak pula terlalu longgar sehingga membuat keributan dan mengganggu orang-orang shalat. Wallahul musta’an
Wabillahit Taufiq washallallhu ala Nabiyyina Muhammad wa ala alihi wa shahbihi wa sallam
Al-Lajnah Ad-Daimah li al-Buhuts wa al-Ifta’
Fatwa no. (9291)
Ketua : ‘Abdul Aziz bin Baz

Majmu’ah Manhajul Anbiya

5. Hukum Shalat Nafilah Sebelum Shalat ‘Ied di Mushalla (Tanah Lapang untuk pelaksanaan Shalat Id)

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud –radhiyallahu ‘anhu– bahwasanya beliau pernah keluar pada hari ‘Id dan berkata:
“Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya bukanlah termasuk tuntunan Sunnah mengerjakan shalat sebelum imam (sebelum shalat ‘Id berjamaah dilaksanakan)!”
Diriwayatkan oleh an-Nasa’i (1561), dan dishahihkan oleh al-Albani di “Shahih wa Dha’if Sunan an-Nasa’i” (1561).

Majmu’ah Manhajul Anbiya

6. Tahiyyatul Masjid Apabila Shalat Ied di Masjid

Fadhilatu asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah ditanya tentang Shalat Tahiyyatul Masjid sebelum shalat ‘Id.

Beliau menjawab:
“Shalat ‘Id apabila dikerjakan di masjid maka tetap disyari’atkan bagi yang baru datang untuk mengerjakan shalat Tahiyyatul Masjid, meskipun pada waktu terlarang, karena shalat tersebut termasuk shalat yang memiliki sebab. Hal ini berdasarkan keumuman sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, “Apabila salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka jangan duduk hingga mengerjakan shalat dua rakaat terlebih dahulu.” Adapun apabila shalat ‘Id dikerjakan di Mushalla (tanah lapang) yang disiapkan untuk shalat ‘Id, maka yang disyariatkan adalah TIDAK ADA SHALAT SEBELUM SHALAT ‘ID. Karena mushalla tersebut tidak berlaku padanya hukum-hukum masjid dari semua sisi. Di samping juga TIDAK ADA SHALAT SUNNAH sebelum ataupun setelah shalat ‘Id.
Majmu’ Fatawa Ibnu Baz (13/15-16)

Majmu’ah Manhajul Anbiya

7. Doa Istiftah Pada Shalat ‘Id

Fadhilatu asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin –rahimahullahu ta’ala– ditanya:
“Kapankah doa Istiftah dibaca pada shalat ‘Id? Langsung setelah takbiratul ihram, ataukah setelah takbir yang ketujuh?”

Jawaban:
“Doa Istiftah dibaca LANGSUNG SETELAH takbiratul ihram, demikianlah yang dijelaskan oleh para ulama. Dalam permasalahan ini terdapat kelonggaran. Bahkan seandainya dibaca SETELAH TAKBIR yang KETUJUH, juga TIDAK MENGAPA.”
Majmu’ Fatawa wa Rasa’il al-‘Utsaimin (16/237).

Majmu’ah Manhajul Anbiya

8. Tidak ada adzan dan iqomah pada shalat Id, tidak ada pula seruan “ash-Shalatu Jami’ah”

Fadhilatus Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin – rahimahullah
ditanya: “Apakah ada adzan dan iqomah pada shalat Id ?”

Beliau menjawab :
“Tidak ada adzan dan iqomah pada shalat Id. Sebagaimana yang ditegaskan dalam as-Sunnah. Akan tetapi sebagian para ulama –rahimahumullah– mengatakan : “Disyariatkan mengumandangkan kalimat (ash-sholatu jaami’ah).” Namun pendapat ini LEMAH karena sama sekali TIDAK ADA DALILNYA. Dan tidak bisa dikiyaskan dengan shalat Gerhana, karena datangnya waktu shalat Gerhana banyak manusia yang tidak mengetahuinya, berbeda dengan shalat Id. Maka yang sesuai dengan sunnah adalah tidak dikumandangkannya adzan dan iqomah, tidak pula seruan (ash-Shalatu jaami’ah). Tanpa itu semua, dengan segera manusia keluar menuju lapangan, jika imam datang, langsung shalat dimulai kemudian dilanjutkan dengan khutbah.”
(Majmu’ Fatawa wa Rasail Al-‘Utsaimin 16/237).

Majmu’ah Manhajul Anbiya

9. Jumlah Takbir Dalam Shalat Id

Fadhilatu asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin —rahimahullahu Ta’ala–, ditanya tentang jumlah takbir pada shalat id?
Beliau menjawab dengan mengatakan,
” Terjadi perbedaan pendapat tentang jumlah takbir di shalat id. Ulama dulu dan sekarang berbeda pendapat tentangnya. Barang siapa yang bertakbir pada rakaat pertama tujuh kali takbir, dengan takbiratul ihram (termasuk di dalamnya), dan pada rakaat kedua lima takbir setelah (takbir) bangkit (dari sujud), maka INI BAIK. Namun barang siapa yang bertakbir berbeda dengan itu, maka itu juga baik, SELAMA ADA RIWAYAT DARI SALAF.
Majmu’ Fatawa wa Rasa’il al-‘Utsaimin 16/238

Majmu’ah Manhajul Anbiya

10. Cara Takbir Dalam Shalat Id

Pertanyaan:
” Tatkala kita bertakbir tujuh kali (pada rakaat pertama) dan lima kali (pada rakaat kedua) dalam Shalat id, apakah ketika imam bertakbir kemudian sang makmum bertakbir juga? Ataukah makmum hanya mencukupkan dengan takbir sang imam? Dan apa yang dibaca di antara takbir-takbir tersebut?

Jawab:
“Takbir dalam shalat id pada rakaat pertama tujuh kali, termasuk di dalamnya Takbiratul Ihram. Kemudian pada rakaat kedua, takbir lima kali setelah takbir bangkit dari sujud. Ini berlaku umum, baik untuk imam maupun makmum. Imam dan makmum MENGANGKAT KEDUA TANGANNYA pada setiap kali takbir. Takbir makmum setelah takbirnya imam. Wabillahit Taufiq washallallhu ala Nabiyyina Muhammad wa ala alihi wa shahbihi wa sallam
Al-Lajnah Ad-Daimah li al-Buhuts wa al-Ifta’ no. (19444)
Ketua : ‘Abdul Aziz bin Bazz

Majmu’ah Manhajul Anbiya

11. Dzikir/Bacaan di antara Takbir-Takbir Shalat Ied

asy-Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya:
“Apa yang dibaca di antara takbir-takbir dalam shalat ied?

Jawab:
“TIDAK ADA Dzikir/bacaan tertentu. Akan tetapi, ia boleh bertahmid kepada Allah, menyanjung-Nya, dan membaca shalawat Nabi sesuai yang ia inginkan. Kalau ia tidak membacanya, maka tidak mengapa. Sebab, hal ini sebatas mustahab.
Majmu’ Fatawa wa Rasail al-‘Utsaimin (16/241)

Beliau juga menyampaikan,
“Aku tidak mengetahui hadits Rasulullah – shallallahu alaihi wa sallam – yang menjelaskan permasalahan ini. Hanya saja, para fuqaha’ menjelaskan agar bertamid, sanjungan kepada Allah, dan membaca shalawat Nabi, seperti:
“Alhamdullilahirabbil ‘alamin Allahumma shalli ‘ala Muhammad.”
Jika kamu membaca,
“Alhamdullilahirabbil ‘alamin wa ar-Rahmanir Rahim,” berarti kamu telah bertahmid dan memuji Allah.
Jika kamu ingin bershalawat atas Nabi, bacalah,
“Allahumma shalli ‘ala Muhammad.”
Akan tetapi, sekali lagi aku tidak mengetahui ada hadits dalam masalah ini.
Majmu’ Fatawa wa Rasail al-‘Utsaimin (16/241)
“Disyari’atkan untuk bertahmid, bertasbih, bertakbir, dan bershalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam di antara setiap dua takbir (dalam shalat id, pen).”
Al-Lajnah Ad-Daimah li al-Buhuts wa al-Ifta’ no. (10577)
Ketua : ‘Abdul Aziz bin Baz

Majmu’ah Manhajul Anbiya

12. Orang yang Terlewat/Terlambat Takbir-Takbir dalam Shalat Ied

Pertanyaan:
“Apa hukumnya bagi orang yang terlewatkan/terlambat takbir-takbir dalam shalat Ied? Apakah dia harus menggantinya? Atau dia tetap menyempurnakannya (yakni langsung mengikuti imam, pen)? “

Jawab :
“Orang yang terlewatkan/terlambat takbir-takbir tambahan pada shalat Ied, maka ia masuk mengikuti shalat imam pada rakaat tersebut dan ia TIDAK PERLU mengganti takbir-takbir yang sudah terlewatkan tadi. Karena takbir-takbir tadi adalah Sunnah yang ia terlewatkan waktunya. Namun, jika ia tertinggal satu rakaat penuh, maka ia mengganti rakaat tersebut lengkap dengan takbir-takbir tambahan sesuai yang dibimbingkan.
Wa billahi At-Taufiq, wa shalallahu ala Nabiyina Muhammad wa Alihi wa Sahbihi wa Sallam.
Al-Lajnah Ad-Daimah li al-Buhuts wa Al-Ifta.
Fatwa nomor 16428

Majmu’ah Manhajul Anbiya

13. Qadha’ Shalat ‘Ied bagi yang Terlambat

Pertanyaan:
“Pada pagi Hari Raya Idul Fithri yang dibarakahi, ketika kami sampai di tempat shalat Id …. kami mendapati imam telah selesai shalat dan berada di penghujung khutbah. Kemudian hadirin yang belum melaksanakan shalat (terlambat) meminta kepada salah satu dari mereka untuk mengimami shalat dan jumlah mereka lebih dari 50 orang, maka dia shalat mengimami mereka dua rakaat dalam keadaan imam sedang berkhutbah. Setelah shalat terjadilah diskusi diantara mereka, sebagian mengatakan shalatnya tidak sah dan sebagian yang lain mengatakan shalatnya sah. Kami memohon kebaikan Anda untuk memberikan jawaban tentang sah atau tidaknya shalat tersebut. Semoga Allah memberikan taufiq kepada Anda pada setiap kebaikan. was salamu alaikum.

Jawab:
“Shalat dua hari raya (Shalat ‘Id) hukumnya Fardhu Kifayah, jika telah ada yang melaksanakannya dalam jumlah yang cukup maka gugurlah dosa dari yang lainnya. (Demikian menurut pendapat sebagian ulama, lihat kembali Silsilah no. 1 dan 2, pen) Pada gambaran yang ditanyakan, maka kewajiban telah diemban oleh jamaah yang shalat duluan, yang imam berkhutbah kepada mereka. Adapun orang-orang yang terlewatkan darinya (terlambat) dan ingin mengqadha’nya maka HAL ITU DISUKAI (MUSTAHAB). (Caranya) : hendaknya dia shalat sesuai dengan tata cara Shalat ‘Ied, namun tanpa khutbah setelahnya. Ini adalah pendapat al-Imam Malik, asy-Syafi’i, Ahmad, dan An-Nakha’i, serta selain mereka dari para ulama’. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallhu alaihi wa sallam
Jika kalian mendatangi shalat (berjama’ah) maka berjalanlah dengan tenang dan pelan, apa yang kalian dapati (dari gerakan imam, pen) maka ikutilah, adapun apa yang terlewatkan maka qadha’lah.”

Dan riwayat dari Anas bin Malik radhiallahuanhu; dahulu jika beliau terlewatkan (terlambat) dari shalat id berjama’ah bersama imam, maka beliau mengumpulkan keluarga dan maulanya (mantan budak yang sudah dimerdekakan) , kemudian Abdullah bin Abu Utbah seorang maulanya mengimami mereka shalat dua rakaat, bertakbir pada kedua rakaat tersebut.”

Bagi orang yang menghadiri shalat id dalam kondisi imam sedang berkhutbah, maka hendaknya dia mendengarkan khutbah terlebih dahulu, baru kemudian melaksanakan qadha’ shalat. Sehingga (dengan itu) terkumpul dua maslahat.
Wa billahi at-Taufiq. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa Aalihi wa shahbihi wa Sallam.
al-Lajnah ad-Da’imah li al-Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta’
Fatwa no 2328.

Majmu’ah Manhajul Anbiya

14. Shalat Ied bagi Seorang Musafir

Fadhilatu asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya:
“Apakah disyariatkan shalat ied bagi seorang musafir?”

Beliau menjawab:
“TIDAK DISYARI’ATKAN SHALAT IED BAGI MUSAFIR, sebagaimana tidak disyariatkan shalat Jum’at baginya. Namun, Jika musafir tersebut berada di daerah yang di situ dilaksanakan Shalat Ied, maka ia pun diperintahkan untuk melaksanakan shalat ied bersama kaum muslimin.
Majmu’ Fatawa wa Rasail al-Utsaimin 16/236

Majmu’ah Manhajul Anbiya

15. Adakah Dzikir Setelah Shalat ‘Ied

Tanya :
“Dzikir-dzikir yang dikerjakan setelah setiap shalat fardhu, apakah (dzikir-dzikir) tersebut (dibaca,-pen) juga setelah shalat Jum’at dan Shalat ‘Ied (‘idul fitri dan ‘idul adha,-pen)?”

Jawab:
“Dzikir dan do’a-do’a yang datang dari Rasulullah shallahu alaihi wa sallam yang diucapkan setiap usai shalat fardhu (wajib) DISUNNAHKAN PULA untuk diucapkan USAI SHALAT JUM’AT. Karena (shalat jum’at) adalah shalat yang diwajibkan berjama’ah, maka ia menyerupai seluruh shalat fardhu, sehingga ia masuk/tergolong pada keumuman (hadits) yang di riwayatkan dari al-Mughirah bin Syu’bah –radhiyallahu anhu–, beliau berkata ; “Dahulu Nabi shallahu alaihi wa sallam ketika usai mengerjakan shalat-shalat maktubah (shalat fardhu/wajib,-pen) beliau mengucapkan ‘la ilaha illallahu wahdahu la syarika lahu, lahu al-Mulku wa lahu al-Hamdu wa Huwa ‘ala kulli syai’in qadir, Allahumma la mani’a lima a’thaita wala mu’thiya lima mana’ta wala yanfa’u dza al-Jaddi minka al-Jaddu’ ”. Maka disunnahkan bagi yang melaksanakan shalat Jum’at untuk mengucapkan dzikir dan do’a-do’a yang disyariatkan setiap usai shalat fardhu, seperti shalat Zhuhur, ‘Ashr, dan ‘Isya. Adapun Shalat ‘idain (‘idul fitri dan ‘idul adha,-pen) TIDAK ADA dzikir dan do’a-do’a yang di khususkan setelah salam, menurut yang kami ketahui.
Wa billahit taufiq, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam.
Al-Lajnah Ad-Daimah Li al-Buhuts Al-‘Ilmiyah wa al-Ifta’
Fatwa nomor (19327).

Majmu’ah Manhajul Anbiya

16. BolehPergi/Pulang Sebelum Khutbah Id

Dari Abdullah bin as-Saib, ia berkata, aku pernah menghadiri shalat ‘id bersama Rasulullah. Begitu shalat selesai, beliau bersabda,

[sc_typo_arabic type=”regular” textalign=”right”] إنا نخطب فمن يجلس للخطبة فليجلس و من أحب أن يذهب فليذهب.[/sc_typo_arabic]

“Kami hendak berkhuthbah, barangsiapa yang ingin duduk mendengarkan khuthbah maka dipersilakan duduk. Bagi yang ingin pulang, maka dipersilakan pulang.”
HR. Abu Dawud 1155, disahihkan al-Albani dalam “Shahih Abu Dawud” 1048

Majmu’ah Manhajul Anbiya

17. Hukum Berbicara/Berbincang Ketika Khuthbah Ied Sedang Berlangsung.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin – rahimahullah– ditanya;
“Apa hukumnya berbincang ketika khuthbah ied sedang berlangsung?”

Beliau menjawab :
“Dalam permasalahan ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama’ rahimahumullah. Sebagian mereka berpendapat HARAM berbicara/berbincang ketika khuthbah ird sedang berlangsung, dan Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa perkara tersebut BOLEH. Karena menghadiri khuthbah ied tidak wajib, maka mendengarkannya pun juga tidak wajib. Tidak diragukan, bahwa termasuk adab yang baik adalah TIDAK BERBICARA (ketika khuthbah). Karena, jika dia berbicara/berbincang maka dia menyibukkan dirinya dan lawan bicaranya (dari mendengarkan khutbah id – pen), atau dia sibuk mendengarkan perbincangannya dan memperhatikannya.”
Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Ibnu ‘Utsaimin 16/246

Majmu’ah Manhajul Anbiya

18. Mandi pada Hari ‘Ied

Diriwayatkan dari Nafi’ bahwa shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma MANDI terlebih dahulu SEBELUM berangkat di pagi hari menuju Mushalla (tempat shalat ‘Id).HR al-Imam Malik dalam Al-Muwaththa’

Diriwayatkan dari Sa’id bin al-Musayyib bahwa ia berkata, “Sunnah di hari Idul Fithr itu ada 3 :
berjalan menuju ke mushalla, makan sebelum keluar rumah, dan mandi.”
HR Al-Firyabi 127/21 dishahihkan oleh Asy-Syaikh al-Albani dalam Al-Irwa’ di bawah hadits no. 636.

Fadhilatus Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah ditanya tentang hukum-hukum terkait hari Ied dan sunnah-sunnah pada hari itu. Beliau menjawab, “Sebagian ulama menyukai bila seseorang MANDI untuk shalat Ied. Karena yang demikian itu diriwayatkan dari sebagian salaf, MANDI pada hari Ied hukumnya MUSTAHAB. Sebagaimana (mandi) disyariatkan ketika pada hari Jum’at karena manusia berkumpul pada hari itu. Apabila seseorang mandi, maka ini adalah sesuatu yang baik.” Majmu Fatawa wa Rasail al-‘Utsaimin 16/216

Majmu’ah Manhajul Anbiya

19. Waktu Mandi Untuk Menunaikan Shalat ‘Id

Ibnu Qudamah –rahimahullah– berkata :
“Yang tampak dari ucapannya al-Khuraqi, bahwasannya waktu mandi untuk menunaikan shalat id adalah SETELAH TERBITNYA FAJAR.

al-Qodhi dan al-Amady berkata “Jika mandinya sebelum fajar, maka tidak sesuai dengan sunnah, oleh karenanya tidak boleh dilakukan sebelum fajar seperti halnya mandi jumat”.

Ibnu Aqil mengatakan “Penjelasan dari al-Imam Ahmad bahwa mandi tersebut boleh dilakukan sebelum fajar atau setelahnya, karena waktu ‘Id lebih sempit di bandingkan waktu Jumat. Kalau waktunya berpatokan pada Fajar, sangat mungkin akan terluput darinya (kesempatan mandi tersebut), sebab yang diinginkan hanyalah membersihkan (badan untuk shalat ‘Id), maka yang demikian bisa dilakukan di waktu malam karena jaraknya dekat dengan shalat. Akan tetapi yang afdhal (lebih utama) mandi dilakukan setelah fajar, untuk menghindar dari khilaf (perbedaan pendapat di atas), demikian juga lebih bagus untuk kebersihan karena (jarak mandi) lebih dekat lagi dengan waktu shalat.”
(al-Mughni 2/275)

Majmu’ah Manhajul Anbiya

20. Memakai Pakaian Yang Terbaik

Bahwa Ibnu ‘Umar mengenakan bajunya yang terbaik ketika Hari Raya (diriwayatkan oleh al-Baihaqi, dengan sanad hasan. Lihat Fathul Bari, syarh hadit no. 948)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin ditanya tentang hukum-hukum ‘Id dan sunnah-sunnahnya, beliau menjawab, ”Hendaknya seseorang memakai pakaiannya yang terbaik. Ini untuk KAUM PRIA. adapun kaum wanita maka TIDAK BOLEH memakai pakaian yang bagus ketika keluar menuju Mushalla (tanah lapangan untuk pelaksanaan shalat). Nabi -shallahu’alaiwasallam-bersabda “Hendaknya mereka keluar dalam kondisi biasa.”(HR. Abu Dawud 565). Yakni memakai baju biasa, bukan baju berhias. Haram bagi mereka keluar memakai wangi-wangian dan bersolek.
(Majmu Fatawa wa Rasail al-‘Utsaimin 16/216)

Majmu’ah Manhajul Anbiya

21. Apabila ‘Idul Fithri/’Idul ‘Adha Bertepatan Dengan Hari Jum’at

“Apabila bertepatan Hari Raya ‘Id dengan hari Jum’at maka GUGUR KEWAJIBAN untuk menghadiri Shalat Jum’at bagi barangsiapa yang telah hadir Shalat ‘Id, kecuali bagi imam, maka kewajiban Jum’at tidak gugur darinya. Kecuali apabila tidak ada orang yang hadir shalat Jum’at. Di antara yang berpendapat demikian : asy-Sya’bi, an-Nakha’i, al-Auza’i. ini juga merupakan pendapat shahabat ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Sa’id, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Zubair, dan para ‘ulama yang sependapat dengan mereka. Dasar pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Iyyas bin Abi Ramlah asy-Syami :

[sc_typo_arabic type=”regular” textalign=”right”] «شهدت معاوية يسأل زيد بن أرقم: هل شهدت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم عيدين اجتمعا في يوم واحد؟ قال: نعم، قال: فكيف صنع؟ قال: صلى العيد ثم رخص في الجمعة، فقال: من شاء أن يصلي فليصل »[/sc_typo_arabic]

Aku menyaksikan Mu’awiyah bertanya kepada Zaid bin Arqam, “Apakah Anda hadir bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam 2 hari raya yang bertepatan dalam satu hari (yakni ‘Id dan hari Jum’at bertepatan dalam satu hari, pen)?. Zaid menjawab, “Iya” Mu’awiyah bertanya, “Apa yang beliau lakukan?” Zaid menjawab, “Beliau shalat ‘Id dan memberikan rukhshah (dispensasi/keringanan) untuk shalat Jum’at (yakni boleh tidak hadir Jum’at, pen), dengan mengatakan, “Barangsiapa yang mau shalat Jum’at silakan shalat.”
(HR. an-Nasa’I 1591, Abu Dawud 1070)

dan berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh shahabat Abu Hurairah, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,

[sc_typo_arabic type=”regular” textalign=”right”] «اجتمع في يومكم هذا عيدان؛ فمن شاء أجزأه عن الجمعة، وإنا مجمعون  »[/sc_typo_arabic]

“Pada hari ini, bertepatan dua hari raya (Hari ‘Id dan Hari Jum’at), barangsiapa yang mau maka Shalat ‘Id itu telah mencukupinya dari Shalat Jum’at. Namun kami tetap melaksanakan Jum’at.”
(HR. Abu Dawud 1073, Ibnu Majah 1311)

Barangsiapa yang gugur darinya kewajiban menghadiri Shalat Jum’at, maka dia tetap MELAKSANAKAN SHALAT ZHUHUR.

Diambil dari fatwa
Al-Lajnah ad-Da’imah li al-Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta’
Ketua : ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz
Fatwa no : 2140

Majmu’ah Manhajul Anbiya

22. Puasa Pada Hari Ied

Dari Abu Ubaid Maula (mantan budak, pen) Ibnu Azhar berkata: Aku pernah menghadiri shalat Ied bersama Umar ibnul Khattab radhiyallahu anhu. Beliau datang lalu (mengimami) shalat. Ketika selesai shalat, beliau berkhutbah lalu berkata:
“Sesungguhnya kedua hari ini, dilarang oleh Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam untuk berpuasa padanya. yaitu hari ketika kalian berbuka dari puasa kalian ini (Idul Fitri, pen) dan hari dimana kalian memakan daging-daging kurban kalian (Idul Adha, pen).
HR Muslim 1137

Pertanyaan:
“Apa hukumnya seseorang berpuasa di hari Ied padahal ia mengetahui bahwa hari tersebut adalah hari Ied?”

Jawaban:
“Tidak diperbolehkan puasa di hari Ied sebagaimana telah sah disebutkan dari Nabi shalallahu alaihi wa sallam dalam hadits-hadits yang sahih, tentang larangan berpuasa pada 2 hari Ied, Idul Fitri dan Idul Adha. Para Ulama Islam telah sepakat tentang diharamkannya hal tersebut. Barangsiapa yang melakukannya, wajib untuk bertaubat kepada Allah Subhanahu, serta tidak mengulanginya kembali.
Wa billahi At-Taufiq wa shalallahu alaa Nabiyina Muhammad wa Alihi wa Sahbihi wa sallam.

Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts Al-Ilmiyah wa Al-Ifta
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
Fatwa nomor 12961

Majmu’ah Manhajul Anbiya

23. Keluar dari Rumah Menuju Tempat Shalat Ied dengan Berjalan Kaki dan Memilih Jalan yang Berbeda (Jalan Berangkat berbeda dengan Jalan Pulang)

Diriwayatkan dari Abu Rafi’ bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam dahulu keluar menuju dua shalat Ied dengan berjalan kaki. Beliau melaksanakan shalat tanpa ada adzan dan iqomah. Setelah selesai, beliau pulang ke rumah dengan berjalan kaki melalui rute jalan yang berbeda.” HR ath-Thabarani no. 943, dishahihkan oleh Al-Albaniy dalam al-Irwa’ no. 636

Fadhilatu asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Yang sesuai sunnah, seseorang pergi menuju mushalla Ied dengan berjalan ataukah berkendara?”

Beliau menjawab,
“Disunnahkan baginya untuk BERJALAN. Kecuali jika dia butuh untuk menaiki kendaraan maka tidak mengapa ia berkendara.”
Majmu Fatawa wa Rasail al-Utsaimin 16/222

Beliau rahimahullah juga berkata,
“Disyariatkan bagi siapa saja yang keluar dari rumahnya untuk melaksanakan shalat Ied, untuk dia berangkat melintasi satu jalan dan ketika pulang melintasi jalan yang berbeda. Hal ini dalam rangka meneladani Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Sunnah yang demikian tidaklah ada pada shalat-shalat yang lain. Tidak pada shalat Jum’at atau selainnya, namun hanya khusus pada shalat Ied. ”
Majmu Fatawa wa Rasail al-Utsaimin 16/222

Fadhilatu asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Apa hikmah dari membedakan jalan berangkat dan pulang pada hari Ied?”

Beliau menjawab,
“1. Yang pertama adalah meneladani Nabi shallallahu alaihi wa sallam, karena perbuatan ini termasuk sunnah.
2. Kedua, termasuk hikmahnya adalah menampakkan syiar, yakni syiar shalat Ied di seluruh pasar-pasar dari setiap kota.
3. Ketiga, termasuk hikmahnya pula, mengunjungi orang-orang yang berada di pasar-pasar, dari kalangan orang fakir dan selain mereka.
4. Keempat, para ulama menyebutkan, di antara hikmahnya pula bahwa kedua jalan yang dilewati itu akan bersaksi untuknya atas (amal kebaikan) pada hari kiamat nanti.”
Majmu Fatawa wa Rasail al-Utsaimin 16/237

Majmu’ah Manhajul Anbiya

24. Mengucapkan Selamat Hari Raya

Diriwayatkan dari Jubair bin Nufair, ia berkata, “Para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam dahulu jika mereka bertemu pada hari raya, mereka saling mengucapkan:

[sc_typo_arabic type=”regular” textalign=”right”] تقبِّلَ مِنَّا وَ مِنْكُمْ[/sc_typo_arabic]

“Semoga diterima amalan kami dan amalan kalian.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari (2/446),” Sanadnya hasan (baik).”

Fadhilatu asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullah pernah ditanya:
“Apa hukum mengucapkan selamat hari raya Ied? Apakah ada kalimat khusus tentangnya?”

Beliau menjawab,
“Mengucapkan selamat Hari Raya Ied hukumnya BOLEH, dan tidak ada ucapan yang bersifat khusus. Bahkan ucapan yang telah menjadi kebiasaan manusia itu boleh, selama tidak mengandung dosa.”
Majmu Fatawa wa Rasail al-Utsaimin 16/208-210

Fadhilatu asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, apakah ada bentuk kalimat yang dihafal dari para salaf terkait ucapan selamat pada hari raya ied?

Beliau menjawab,
“Mengucapkan selamat hari raya Ied telah dilakukan oleh sebagian shahabat radhiyallaahu ‘anhum. Kalaupun dikatakan belum pernah terjadi pada masa shahabat, namun ini sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh manusia. Mereka saling mengucapkan selamat satu sama lain dengan sampainya mereka pada hari Ied dan sempurnanya puasa dan qiyamul lail. Akan tetapi, satu perkara yang terkadang mengganggu dan tidak ada faktor pendorong untuk melakukannya adalah permasalahan mengecup. Sebagian orang, jika mengucapkan selamat hari raya Ied, mereka mengecup. Yang seperti ini tidak ada alasan yang mendukung, tidak ada kebutuhan padanya. Jadi, cukup dengan berjabat tangan dan mengucap selamat.”
Majmu Fatawa wa Rasail al-Utsaimin 16/208

Majmu’ah Manhajul Anbiya

25. Kapan Ucapan Selamat Idul Fitri Disampaikan?

Asy-Syaikh Badr bin Muhammad al-Badr hafizhahullah :

Syaikhuna al-Luhaidan hafizhahullah mengatakan kepadaku, “Ucapan Selamat Hari ‘Id (Hari Raya) disampaikan setelah berakhirnya bulan Ramadhan. Apabila bulan telah habis maka seorang muslim boleh mengucapkan selamat kepada saudaranya.”

Majmu’ah Manhajul Anbiya

26. Bergembira, Saling Kunjung, Menyembelih Kambing, dan Mengucapkan Selamat Idul Fitri

Pertanyaan :
“Mengenai suatu yang telah dikenal oleh manusia, yaitu menyembelih hewan ternak (Kambing atau Sapi) Pada hari ‘Idul Fitri, (dalam rangka) menampakkan kesenangan, memuliakan tamu-tamu mereka yang datang, begitu pula saling berziarah (mengunjungi) dalam rangka menyambung silaturrahmi dan menyenangkan para tetangga dan kaum muslimin, kemudian saling mengucapkan ucapan selamat di antara mereka dalam kesempatan tersebut dengan mengucapkan (Taqabbalallahu minna wa minkum), (Minal ‘Aidin wal Faaiziin), (‘Id mubarak) dan yang semisal dengan itu dari ucapan-ucapan selamat. Karena ada yang mengatakan “Sesungguhnya ini semua termasuk dari kebid’ahan” bahkan tidak mau mengunjungi kerabat-kerabat dan kenalan-kenalannya, atau menyambut (menerima kedatangan) mereka pada hari ‘id. Karena dia memandang bahwa ini adalah termasuk dari perkara bid’ah. Maka kami fatwa tertulis dari Anda hingga bisa di amalkan oleh semua (manusia,-pen).

Jawab:
“TIDAK MENGAPA untuk menyembelih sebagian hewan pada Hari ‘Idul Fitri dalam rangka memuliakan tamu yang mengunjunginya. Akan tetapi secukupnya saja (yang sekiranya mencukupi untuk para tamu) tanpa adanya perbuatan menghambur-hamburkan dan kesombongan pada acara tersebut. Adapun memberikan ucapan selamat kepada kaum muslimin di antara mereka di hari ‘id seperti ucapan-ucapan yang telah disebutkan pada pertanyaan, maka TIDAK MENGAPA, yang mana terdapat padanya do’a seorang muslim untuk saudaranya agar amalannya diterima, dipanjangkan umurnya, dan kesenangan. Dan tidak ada larangan pada masalah ini.
Wa billahit taufiq, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam.
Al-Lajnah Ad-Daimah Li al-Buhuts Al-‘Ilmiyah wa al-Ifta’

Ketua: ‘Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz
Fatwa no. 20673

Majmu’ah Manhajul Anbiya

27. Berkunjung Kepada Karib Kerabat Para Hari ‘Idul Fithri

Asy-Syaikh Muhammad bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah
Pertanyaan : Apa hukum mengkhususkan berkunjung kepada karib kerabat dan teman-teman pada hari ‘Id (Idul Fithri, pen)?

Jawab :
Ini amalan yang bagus. Karib kerabat adalah orang-orang yang paling berhak untuk kita menyambung silaturrahmi dengan mereka. Karena mereka adalah orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan (dengan kita). Mereka adalah orang yang paling berhak, maka mulailah dari mereka. kemudian baru setelah itu orang-orang yang selain mereka. Ini merupakan hal yang dituntut, yaitu seseorang memulainya dengan karib kerabat. Karena karib kerabat adalah orang yang paling kuat/besar haknya dibanding selainnya. Maka ketika itu, hendaknya berbuat baik kepada mereka dulu. Kemudian setelah itu, apabila didapati waktu lain, maka bisa mengunjungi saudara-saudaranya (yang lainnya). Jika itu bisa terwujud, maka Alhamdulillah. Jika tidak terwujud, maka itu bukanlah sunnah pada kesempatan tersebut. Namun mencukupkan mencukupkan bertemu dengan mereka di mushalla (tempat shalat ‘Id), juga dengan bertemu dengan mereka di masjid, pada shalat lima waktu. Jika ini terwujud maka cukup, Alhamdulillah. Tidak dipersyaratkan engkau pergi ke rumahnya. Namun hal ini telah menjadi adat. Sedangkan adat ini tidaklah bertentangan dengan syari’at, dan mereka (muslimin) tidak meyakini ini sebagai ibadah. Hal itu karena, hari itu (Hari ‘Idul Fithri, pen) adalah hari gembira dan bahagia. Maka itu semua tidak mengapa.
Sumber http://ar.miraath.net/fatwah/4062

Majmu’ah Manhajul Anbiya

28. Memberi Uang kepada Anak-Anak Ketika Idul Fithri dan Idul Adha

Pertanyaan:
“Di keluarga kami, ada anak-anak kecil yang menurut kebiasaan di negeri kami, kami memberi mereka pada hari Ied, baik Iedul Fitri maupun Iedul Adh-ha, sesuatu yang dinamai “Al-Iediyyah”, yakni sejumlah kecil uang. Hal ini bertujuan untuk menimbulkan kegembiraan dalam hati mereka. Apakah “Al-Iediyyah” semisal ini termasuk bid’ah ataukah tidak mengapa untuk dilakukan? Sampaikanlah faedah kepada kami, semoga Allah menambahkan faedah bagi Anda..

Jawab:
Yang demikian itu TIDAK MENGAPA, bahkan hal itu termasuk kebiasaan yang BAIK. Membangkitkan kegembiraan kepada muslim yang lain, baik orang dewasa maupun anak kecil, ini adalah sebuah perbuatan yang dianjurkan oleh syariat yang suci ini. Wa billaahit taufiq. Semoga Allah sentiasa melimpahkan shalawat dan salam-Nya kepada Nabi kita, Muhammad, kepada keluarga dan sahabat beliau.
Al-Lajnah Ad-Daimah Li al-Buhuts Al-‘Ilmiyah wa al-Ifta’

Ketua: ‘Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz
Fatwa no. 20195

Majmu’ah Manhajul Anbiya

29. HARI RAYA ITU BERAPA HARI?

“Banyak orang menambah jumlah hari raya. Apakah tambahan tersebut benar?

Jawab :
Hari Pertama adalah ‘Id, tidak ada masalah. Hari ke-2 dan ke-3 ‘ID (HARI RAYA) JUGA. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Biarkanlah mereka berdua.” yakni dua budak perempuan kecil yang sedang bernyanyi, “Karena sekarang adalah HARI-HARI ‘ID.” Kata “Hari-Hari” adalah bentuk jamak. Jumlah minimal untuk jamak adalah tiga. Maka TIDAK MENGAPA jika seseorang menjadikan 3 HARI semuanya Hari ‘Id (Hari Raya). KECUALI pada satu masalah, yaitu MASALAH PUASA (SYAWWAL) Masalah puasa, kalau dia mengatakan, bahwa dia tidak akan berpuasa (6 hari syawwal) pada hari ke-2 dan ke-3 Syawwal, karena berpuasa pada hari-hari itu haram seperti berpuasa pada hari ‘Id (hari pertama), maka ini TIDAK BOLEH. Adapun pada Dzulhijjah, maka maklum bahwa pada hari-hari Tasyriq (Hari ke-2, ke-3, dan ke-4, pen) tidak boleh berpuasa. Apabila kita gabungkan tiga hari dengan hari ‘id (hari pertama) berarti menjadi empat hari. Mungkin yang kamu maksudkan adalah apa yang dilakukan oleh orang-orang, yaitu bergembira. Kami katakan, “Kegembiraan itu selama tiga hari pada ‘Idul Adha dan ‘Idul Fithri.”
Sumber : Fatawa Ibnu ‘Utsaimin, Silsilah Liqa’aat al-Bab al-Maftuh » Liqa al-Bab al-Maftuh (117) » Shalat » Shalat al-‘Idain

Majmu’ah Manhajul Anbiya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button