Manhaj

Di antara Ciri Khas Manhaj Salafy : “Memadukan Antara Ta’shil dan Tahdzir”

Di antara Ciri Khas Manhaj Salafy

“Memadukan Antara Ta’shil dan Tahdzir

[ Ta’shil = Penanaman/Mencari Ilmu; Tahdzir = Peringatan dari Bahaya Kebatilan dan Pengusungnya ]

Ditulis oleh DR. Khalid bin Qasim ar-Raddadi hafizhahullah

Di antara keistimewaan Salafiyun di banding lainnya, adalah : Salafiyyun memadukan antara Ta’shil dan Tahdzir. Jadi Ahlus Sunnah sejati akan memberikan perhatian yang sangat besar terhadap Ta’shil ilmu, penjelasan kaidah-kaidahnya, pedoman-pedomannya sesuai dengan paham para Salaf ridhwanallah ‘alaihim. Sedikit, bahkan sangat jarang, engkau dapati seorang salafy yang tumbuh dan berkembang di madrasah atsariyyah ini kecuali dia pasti menyebutkan permasalahan disertai dengan dalil-dalilnya, lengkap dengan penjelasan paham salaf terkait permasalahan tersebut, di samping kesibukan mereka dengan ilmu dan dakwah ke jalan Allah di atas bashirah.

Pada waktu bersamaan Salafiyyun men-tahdzir dari orang-orang yang menyelisihi/menentang dan memusuhi Dakwah Salafiyyah. Maka Salafiyyin menjelaskan berbagai cela mereka dan menyingkap tabir-tabir penutup mereka, sehingga tidak ada seorang pun yang terpesona atau tertipu dengan mereka!!

Namun, muncul di tengah-tengah barisan ahlus sunnah ini, “sekelompok” orang yang menyimpang dari jalan yang lurus. Para “pembesar” dari “sekelompok” orang tersebut mengecilkan penting tahdzir (peringatan) dari bahaya Ahlul Bid’ah dan kritikan terhadap ucapan-ucapan ahlul bid’ah serta menyingkap berbagai kebatilan ahlul bid’ah. Mereka mengatakan, ‘Kita mencukupkan dengan ta’shil saja … kita hanya menjelaskan jangan berdebat, … kita tidak men-jarh (mencerca) …dan seterusnya.”

Sebenarnya, yang dimaukan dengan ucapan tersebut adalah diam (tidak mengingkari) para penentang kebenaran dan tidak sibuk membantah mereka, serta mencukupkan diri dengan ta’shil saja – menurut anggapannya – atau setidaknya jika membantah maka menurut mereka wajib tidak menyebut nama pihak yang dibantah serta jangan sampai mencela pihak yang dibantah, dan yang lainnya yang merupakn sikap-sikap tamyi’ (lembek/tidak tegas dalam bermanhaj dan berprinsip) dan takhdil (menggembosi sikap konsisten di atas manhaj dan prinsip al-Haq). Sehingga banyak dari para mumayyi’ dan mukhadzdzil ini duduk bergaul bersama para ahlul bid’ah, senang dan tentram dengan mereka, menghadiri pertemuan-pertemuan mereka, turut serta di forum-forum/group-group mereka, serta turut andil pula di media-media ahlul bid’ah.

Apakah mereka (para mumayyi’ dan mukhadzdzil) itu tidak tahu, bahwa “membantah para penentang (kebenaran)” merupakan salah satu kewajiban besar dalam Islam di pundak para ‘ulama yang berkompenten di bidang ini. Dengan prinsip inilah agama terjaga dari penyimpangan dan penyelewengan para ekstrimis. Prinsip tersebut dalam timbangan syari’at merupakan perkara yang agung dan kedudukan yang besar.

Dalam hal ini, al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam kitab “at-Tibyan li Aqsam al-Qur`an” hal. 210 mengatakan,

“Pena yang ke-12. Pena yang menyeluruh. Yaitu pena bantahan terhadap ahlul batil. Mengangkat sunnah para ahli al-Haq. Menyingkap berbagai kebatilan para ahlul batil – dengan berbagai macam ragam dan jenisnya – menjelaskan kontroversi mereka, kedunguan mereka, menjelaskan bagaimana mereka bisa keluar dari al-Haq dan masuk dalam kebatilan.

Pena ini – di antara pena-pena lainnya – laksana para raja di antara umat manusia. Orang-orang yang memiliki pena ini adalah para ahli hujjah, para pembela ajaran yang dibawa oleh para rasul, orang-orang yang memerangi musuh-musuh para rasul. Mereka adalah para da’i ke jalan Allah dengan hikmah dan mau’idzhah hasanah, serta mendebati orang-orang yang kekeluar dari jalan-Nya dengan berbagai argumentasi.

Para pemilik pena ini adalah lawan perang bagi setiap pengusung kebatilan, musuh pagi setiap penentang para rasul. Mereka di atas sebuah urusan (kebatilan), sementara para pemilik pena tersebut di atas urusan lain (yakni al-Haq/kebenaran).”

Seruan-seruan berbahayan seperti itu, yakni meninggalkan tahdzir terhadap ahlul bid’ah, tidak mau membicarakan (kesesatan) ahlul bid’ah, pada hari-hari ini tersebar di beberapa kalangan di antara Ahlus Sunnah. Sehingga tidaklah engkau berbicara tentang para penentang kebenaran, menjelaskan kejelekan-kejelekan mereka, dan mentahdzir dari manhaj mereka yang batil, kecuali engkau dapati ada wajah-wajah yang berubah (karena marah) dan masam, serta ada dada-dada yang sempat karenanya. Maka tidaklah keluar dari mereka kecuali sikap berpaling, marah, yang diikuti dengan celaan-celaan dengan cara batil dan zhalim, tuduhan-tuduhan sebagai orang yang keras/kaku … dan berbagai tuduhan lainnya yang tidak jauh berbeda dengan tuduhan para hizbiyyun terhadap Salafiyyin Ahlus Sunnah sejati. Maka hanya kepada Allah sajalah kita mengeluh!!

Akibat pandangan yang pendek dan ilmu yang sedikit, sikap rahmah (kasih sayang) Ahlus Sunnah (terhadap umat) mereka anggap sebagai pelanggaran, kezhaliman, dan sikap keras. Menurut mereka, hal itu sangat jauh dari sikap rahmah.

Padahal bagi para ‘ulama, orang-orang yang mengerti fiqh, serta memiliki pemahaman dan pandangan (yang luas), hal itu merupakan di antara bentuk rahmah yang paling tampak. Itu merupakan jihadnya para ‘ulama dari kalangan Ahlus Sunnah, yaitu jihad dengan menjelaskan kesalahan para pengusung kebatilan, bantahan terhadap berbagai ucapan para penentang dan orang-orang menyimpang. Ibadah ini – yaitu bantahan terhadap para penentang kebenaran – di antara ibadah terbesar yang dengannya seorang hamba mukmin yang ikhlas dan jujur bertaqarrub kepada Rabbnya Ta’ala.

Al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah dalam kitabnya “I’lam al-Muwaqqi’in” (III/428-430) berkata,

“Seseorang yang mengerti tentang agama yang dengannya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tentang prinsip yang beliau (Rasulullah) dan para shahabatnya berjalan di atasnya, maka dia akan melihat (kenyataan) bahwa kebanyakan orang yang dianggap sebagai orang ahli agama ternyata dia adalah orang yang paling sedikit agamanya. Allahul Musta’an.

Agama dan kebaikan apa (yang diharapkan) pada seseorang yang ketika melihat larangan-larangan Allah dilanggar, batasan-batasan-Nya diterjang, dan agama-Nya ditinggalkan, serta sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibenci, namun dia tetap dingin hatinya dan diam lisannya?  Dia adalah syaithan yang bisu, sementara orang yang berbicara dengan kebatilan adalah syaithan yang berbicara. Bukankah musibah yang menimpa agama ini, kecuali dari (disebabkan oleh) mereka? Mereka itu adalah orang-orang yang apabila (kepentingan) makanan dan kepemimpinannya selamat, maka tidak peduli dengan apa yang menimpa agama. Yang terbaik di antara mereka adalah orang-orang yang merasa sedih dan turut merasakan. Kalau tercabut darinya sesuatu darinya yang membuatnya rendah, baik pada kedudukan atau hartanya, baru dia akan mencurahkan segala upaya dan keseriusan serta kesungguhan, dan akan mengupayakan tiga tingkatan pengingkaran sesuai kemampuannya. Mereka ini – di samping telah jatuh di mata Allah dan Allah murka terhadap mereka – akan ditimpakan padanya bala’ (musibah) dengan sebesar-besar musibah yang ada, namun tanpa mereka sadari, yaitu kematian hati. Karena hati itu, semakin sempurna kehidupannya, maka marahnya karena Allah dan Rasul-Nya semakin kuat dan pembelaannya terhadap agama semakin sempurna. Al-Imam Ahmad dan yang lainnya menyebutkan sebuah riwayat, bahwa Allah mewahyukan kepada salah satu malaikat agar menenggelamkan suatu desa. Maka malaikat tersebut bertanya, ‘Bagaimana (akan ditenggelamkan) sementara di desa tersebut ada si fulan yang dia itu ahli ibadah?’ Maka Allah menjawab, “Justru mulailah dari orang tersebut, karena sesungguhnya dia tidak pernah berubah wajahnya (marah) karena Aku sehari pun.”

Abu ‘Umar (Ibnu ‘Abdil Barr) dalam kitabnya at-Tamhid menyebutkan, “Bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mewahyukan kepada salah seorang nabi-Nya, “Katakan kepada si fulan yang ahli zuhd itu, : Adapun zuhudmu di dunia telah, maka dengannya kamu telah mendapatkan ketenangan dengan segera. Adapun konsentrasimu beribadah kepada-Ku, maka dengannya engkau telah mendapatkan kemuliaan. Namun, apa yang kamu amalkan terkait dengan hak-Ku atasmu?” maka dia bertanya, “Wahai Rabb-ku, apakah hak-Mu atasku?” Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Pernahkah kamu membela seorang wali karena Aku, dan pernahkah engkau memusuhi seorang musuh karena Aku?”

Sesungguhnya tahdzir dan bantahan terhadap orang yang menyelisihi/menentang (kebenaran) merupakan bentuk rahmat terhadap keumuman makhluk. Sehingga (dengan itu) mereka (makhluk/umat) akan waspada dari orang yang menyimpang dari kebenaran tersebut dan menjauh agar tidak terjatuh ke dalam sesuatu yang mereka serukan.  Bahkan itu merupakan bentuk rahmat terhadap pihak yang dibantah itu sendiri, yaitu agar tidak semakin banyak orang yang mengikuti kesalahannya, yang mengakibatkan semakin banyak dosa dan kesalahannya.

Dari ‘Ashim al-Ahwal berkata, “Aku duduk di (majelis) Qatadah. Lalu beliau menyebutkan tentang ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang tokoh besar kelompok sesat Mu’tazilah ), maka beliau pun mencelanya. Maka aku katakan kepada beliau, “Wahai Abul Khaththab (yakni Qatadah), kenapa aku melihat ‘ulama itu yang satu mencela yang lain?”  Qatadah menjawab, “Wahai Ahwal, tidakkah kamu tahu bahwa seseorang apabila berbuat satu bid’ah, maka perbuatan itu harus disebutkan agar diketahui (oleh orang lain, bahwa itu bid’ah, pen)?” Maka aku pun keluar dari majelis Qatadah dalam keadaan aku sedih dengan ucapan (celaan) beliau terhadap ‘Amr bin ‘Ubaid, yang aku tidak mendapati (apa yang diucapkan oleh Qatadah tersebut) pada diri ‘Amr bin ‘Ubaid, baik pada ibadah maupun sepak terjangnya. Maka aku pun meletakkan kepalaku di pertengahan siang. Tiba-tiba aku melihat ‘Amr bin ‘Ubaid dalam tidurku. Mushaf ada dalam pangkuannya, dan dia tengah berusaha untuk menghapus satu ayat dari Kitabullah. Aku katakan, “Subhanallah! Kamu akan menghapus satu ayat dari Kitabullah??! Dia menjawab, “Aku akan mengembalikannya.” Maka aku pun membiarkannya hingga dia berhasil menghapusnya. Lalu aku katakan, “Kembalikanlah (ayat tersebut)!” Dia menjawab, “Aku tidak bisa.” [ Diriwayatkan oleh al-Lalikai dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah IV/814 ]

Setelah menyebutkan kisah tersebut, al-Imam asy-Syathibi rahimahullah mengatakan, “Mereka (para ahli bid’ah) itu harus disebutkan dan dijauhkan dari umat. Karena bahaya yang akan kembali (mengenai) umat kalau mereka dibiarkan lebih besar daripada bahaya yang akan muncul karena menyebutkan kondisi mereka dan menjauhkan mereka dari umat, apabila memang sebab tidak meninggalkan penyebutan secara ta’yin adalah karena khawatir dari munculnya perpecahan dan permusuhan. Tidak diragukan, bahwa perpecahan yang terjadi antara kaum muslimin dengan para penyeru bid’ah saja apabila mereka (penyeru bid’ah itu) ditegakkan (hujjah padanya) lebih ringan dibandingkan perpecahan yang terjadi antara umat dengan para da’i, pembela, dan pengikut mereka. Apabila bertemu dua madharat, maka ditempuh yang paling ringan di antara dua madharat tersebut. sebagian kejelekan saja lebih ringan dibandingkan kejelekan semuanya. Seperti memotong tangan, yang sudah tidak berfungsi, lebih ringan dibandingkan hilangnya nyawa. Demikianlah karakter syari’at ini senantiasa demikian. Mengabaikan hukum yang lebih ringan demi menjaga dari sesuatu yang lebih berat.” [ al-I’thisham III/230-231 ]

Atsar para salaf dalam masalah sangat banyak tidak bisa disebut satu persatu. Silakan bolak-balik lembaran-lembaran kitab-kitab aqidah yang musnadah (menyebutkan rangkain sanad sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) niscaya kamu akan melihat itu semua, yang sangat mencukupi dan mengobati (rasa ingin tahu).

Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitabnya “al-Farq baina an-Nashihah wa at-Ta’yir” hal. 8, mengatakan,

“Tidak ada perbedaan antara mencela para perawi hadits menyeleksi siapa yang bisa diterima riwayatnya siapa yang tidak bisa diterima, dengan penjelasan kesalahan seseorang yang salah dalam memahami makna-makna al-Kitab (al-Qur`an) dan as-Sunnah, mentakwilkan sesuatu darinya dengan takwil yang tidak benar, dan berpegang pada sesuatu yang tidak boleh dijadikan pegangan. Hal itu agar diwaspadai agar jangan sampai orang (yang salah) tersebut diikuti dalam kesalahannya. Para ‘ulama telah sepekat (ijma’) akan bolehnya hal itu (yakni menjelaskan/membantah kesalahan orang yang memang salah, pen).

Tidak ada seorang pun dari ahlul ilmi yang meninggalkan hal itu (membantah ahlul batil). Dalam bantahannya tersebut, ‘ulama tersebut tidak menyerukan celaan kepada orang yang dibantah ucapannya, tidak pula kecaman, tidak pula menjatuhkannya. Kecuali apabila memang sang penulis (bantahan tersebut) orang yang dikenal kasar ucapannya, jelek adabnya dalam ungkapan kata-katanya, maka dia diingkari kekasaran dan kejelekannya tersebut, bukan pada asal bantahannya, dalam rangka menegakkan hujjah syar’iyyah dan dalil-dalil yang mu’tabar.”

“Maksudnya bahwa umat ini – walhamdulillah – senantiasa ada padanya orang-orang yang tanggap terhadap kebatilan ucapan para ahlul batil dan membantahnya. Mereka, karena hidayah dari Allah – sama dalam prinsip untuk menerima al-Haq dan membantah kebatilan, baik berupa pendapat maupun riwayat, walaupun tanpa ada kesengajaan dan “perjanjian” terlebih dahulu.” Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (XI/233)

Di antara tuduhan/celaan yang akan diarahkan kepada para penjaga syari’at dan bala tentara sunnah, bahkan mungkin ini tuduhan/celaan terjelek yang diarahkan, yang datang dari celotehan para penggembos dan orang-orang yang menyia-nyiakan kewajibannya namun menisbahkan diri kepada Sunnah. Maka kamu lihat orang-orang yang telah cacat (di­jarh) akibat sikapnya yang menyia-nyiakan kewajibannya, menyembunyikan al-Haq, dan kikir tidak mau menyampaikan ilmu itu, apabila saudara-saudara mereka dari kalangan Ahlus Sunnah Salafiyyin menegakkan kewajibannya membela agama Allah, menjelaskan as-Sunnah kepada umat, dan membantah ahlul bid’ah, maka kamu dapati pada mereka di samping sikap enggan terhadap kewajibannya, ditambah lagi mereka malah menggembosi Ahlus Sunnah yang melaksanakan kewajibannya tersebut, dengan mengesankan bahwa merekalah yang di atas al-Haq sementara ahlus sunnah yang melaksanakan kewajibannya tersebut di atas kebatilan.

Maka kita katakan kepada mereka, “Apabila para pengusung kebatilan telah menampakkan hawa nafsunya, dan para perusak telah menebarkan kesesatannya, serta ahlul bid’ah telah mengumumkan kebid’ahannya, sementara dalam kondisi seperti itu ahlus sunnah masih saja diam, atau tidak mau berbuat, atau bahkan menggembosi, maka demi Allah kapankah akan tampak jelas al-Haq?” [ lihat ar-Radd ‘ala al-Mukhalif hal. 14-17 ]

Allah telah menjaga Ahlus Sunnah Salafiyyin dari terjatuh ke dalam kubangan-kubangan busuk yang menular. Maka Ahlus Sunnah (dengan taufiq dari Allah, pen) berjalan di atas jalan al-Mushthafa Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya, serta para tabi’in. Syi’ar mereka adalah : menebarkan as-Sunnah, perintah untuk berpegang dengannya, tahdzir dari berbagai bid’ah dan perkara baru yang diada-adakan dalam agama, serta membantah para pengusung bid’ah, bersikap keras terhadap mereka, disertai gelaran buruk dan celaan kepada mereka. Bersama dengan itu, Ahlus Sunnah bersabar atas keterasingannya, seraya mengharapkan pahala dari Allah. Dengan demikian, Ahlus Sunnah meraih tamayyuz, ketinggian, kemuliaan, dan kekokohan.

Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Wajib atas kalian (mengikuti) Jalan Hidayah, dan tidak akan membahayakanmu sedikitnya orang yang menempuh (jalan hidayah tersebut). Waspadalah kalian dari jalan-jalan kesesatan, dan janganlah kamu tertipu dengan banyaknya orang-orang yang binasa.” [al-I’tisham I/135]

Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “Tempulah Jalan al-Haq, dan janganlah bingung karena sedikit orang yang menempuhnya.” [ diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam at-Tamhid VII/429 ]

al-Imam Abu ‘Utsman ash-Shabuni rahimahullah berkata, “Wahai saudara-saudaraku hafizhahumullah janganlah kalian tertipu dengan banyaknya Ahlul Bid’ah dan meratanya jumlah mereka. karena itu semua termasuk tanda-tanda sudah dekatnya Hari Kiamat. Karena Rasulullah al-Mushthafa Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Sesungguhnya di antara tanda-tanda Kiamat dan semakin dekatnya adalah ilmu semakin sedikit dan kejahilan merajalela.”  Ilmu adalah as-Sunnah, dan kejahilah adalah Bid’ah. Maka barangsiapa yang pada hari ini berpegang teguh dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengamalkan, dan istiqamah di atasnya, serta mengajak kepada Sunnah, maka pahalanya akan semakin besar dan banyak dibanding orang yang berjalan di atas jalan ini di awal-awal Islam dan Millah. [1] ” [ Aqidah as-Salaf ash-habi al-Hadits, hal. 316 ]

Hanya kepada Allah aku memohon agar memberikan hidayah kepada kami dan kepada saudara-saudara kami kaum muslimin kepada jalan kebenaran yang terang. Serta melindungi kami semua dari jalan para mumayyi’ dan mukhadzdzilin. Sesungguhnya Allah Maha Pemurah dan Maha Mulia. Dia adalah sebaik-baik Pembela dan Penolong.

http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=136041



[1]  Al-Imam ash-Shabuni rahimahullah dalam hal ini berpegang pada riwayat, “Mereka mendapatkan lima puluh.” Ada yang bertanya, ‘Lima puluh kali dari mereka sendiri?’ Nabi menjawab, “Bahkan dari kalian (yakni para shahabat, pen).”

Kemudian ash-Shabuni rahimahullah mengatakan, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian untuk siapa yang mengamalkan sunnah beliau ketika telah terjadi kerusakan pada umatnya.”

Al-‘Allamah al-Muhaddits asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah dalam syarh beliau terhadap kitab ash-Shabuni tersebut, mengatakan,

“Hadits tersebut secara umum shahih, kecuali ucapan “Bahkan dari kalian.” Aku telah melakukan studi khusus mempelajari hadits tersebut – sekarang tidak bisa aku sebut rinciannya kepada kalian – namun aku sampai pada kesimpulan bahwa lafazh tersebut dha’if (lemah).

Ya, dia mendapatkan “pahala lima puluh” kali dari orang-orang yang sezamannya atau zaman sebelumnya, namun bukan dari para shahabat. Karena shababat adalah manusia paling utama, tidak ada seorang pun yang bisa menyamai mereka dalam keutamaan. Kalau seandainya seseorang beribadah kepada Allah sepanjang hidupnya, dia tidak akan bisa menyamai satu amal kebaikan di antara sekian banyak amal kebaikan para shahabat. … “.

Terbaru

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button