Manhaj

Bantahan Terhadap Yang Berdalil dengan Hadits Abu Sa’id Untuk Membolehkan Mengingkari Pemerintah Secara Terbuka

asy-Syaikh ‘Ubaid al-Jabiri hafizhahullah

Pertanyaan : Ada yang menjadikan pengingkaran Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu terhadap Amir (Pimpinan) Madinah Marwan bin Hakam yang mendahulukan khutbah ‘Id sebelum pelaksanaan Shalat ‘Id, sebagai dalil atas bolehnya pengingkaran terhadap Pemerintah secara terbuka, baik di mimbar-mimbar, ceramah-ceramah, maupun orasi-orasi terbuka. Apakah pendalilan ini benar?

Jawab :

Pertama : Hadits tersebut shahih. Terdapat dalam ash-Shahihain (dua Kitab Shahih : Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim), keduanya atau salah satunya. Namun, orang-orang sok pandai dan orang yang tercemari dengan pemikiran pemberontakan al-Qa’di (provokatif) itu lupa atau melupakan beberapa hal – kelihatanya yang kedua, yaitu mereka melupakan beberapa hal :

Perkara Pertama : Ucapan Abu Sa’id sendiri (dalam hadits tersebut) “Aku berjalan menggandeng / di samping Marwan”, maknanya : masing-masing dari dua orang tersebut – yaitu Abu Sa’id al-Khudri dan Marwan bin Hakam Amir Madinah – meletakkan tangannya di atas pinggang yang lain. Sikap seperti dari dua orang yang saling berbincang, menunjukkan bahwa keduanya menghendaki agar pembicaraannya tidak didengar oleh orang lain.

Perkara Kedua : Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu ketika nasehatnya tidak dituruti oleh Marwan – semoga Allah memaafkannya – maka beliau pun membiarkannya dan tetap shalat di belakangnya dan mendengar khutbahnya serta shalat di belakangnya. Beliau tidak menjadikan ini sebagai kesempatan untuk menyebarkan secara terbuka kesalahan Amir Madinah waktu itu, yaitu Marwan – semoga Allah memaafkan kita dan dia –

Perkara Ketiga : Hadits ini, diriwayatkan dari Abu Sa’id oleh ‘Amir bin Sa’d, mungkin dia putra beliau. Perhatikan, ‘Amir bin Sa’d mengatakan, “dari Abu Sa’id … ” (kemudian dia sebutkan kisahnya). Jadi ‘Amir bin Sa’d ini tidak mendengar isi pembicaraan kedua orang tersebut sedikitpun. Tidak tahu isinya dan tidak mendengar satu kata pun.

Jadi hadits ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam (as-Sunnah), Ahmad, dan lainnya – dan ini adalah hadits yang shahih dengan seluruh jalannya – dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Barangsiapa yang hendak menasehati seorang penguasa maka janganlah menampakkannya secara terbuka. Hendaklah dia menyendiri dengannya dan mengambil tangannya. Apabila penguasa itu mau menerimanya maka dia akan menerimanya. Namun kalau penguasa tersebut menolaknya, maka dia (yang memberi nasehat) telah menunaikan kewajibannya.”

Hadits ini, padanya ada beberapa faidah sebagai berikut :

Faidah Pertama : rahasia / tersembunyi dalam menyampaikan nasehat kepada Waliyyul Amr (pemerintah). Lakukan oleh orang paling dekat kepadanya, jika memungkinkan.

Faidah Kedua : Pemberi nasehat telah gugur kewajibannya dengan cara demikian. Bukan kewajibannya membuat agar penguasa menerima nasehatnya. Dengan nasehat rahasia ini, kewajibannya telah gugur.

Faidah Ketiga : Kesesuaian hadits dari shahabat Abu Sa’id ini dengan hadits dari Abul ‘Ashim, bahwa nasehat itu dilakukan secara rahasia/tersembunyi.

Permasalahan terakhir : Bahwa tidak ada cara lain yang bisa dilakukan oleh pemberi nasehat yang hendak mengingatkan penguasa, kecuali dengan cara ini. kalau seandainya ada cara lain niscaya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskannya. Karena di antara kaidah yang telah pasti dalam ilmu Ushul Fiqh bahwa “Tidak boleh menunda penjelasan dari waktu yang dibutuhkan atau dari waktu amal”. Jadi penentunya adalah kebutuhan. Apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjelaskan cara lain selain cara ini, maka diketahui bahwa semua cara (dalam menasehati penguasa) tertutup (tidak boleh) kecuali cara rahasia/tersembunyi.

Di sana ada syubhat lain, akan aku sebutan satu di antaranya. Aku persilakan bagi siapa yang ingin tambahan untuk membaca kitab kami berjudul “Tanbih al-‘Uqul as-Salimah” terbitan al-Furqan cetakan kedua. kami telah sebutkan di kitab tersebut syubhat-syubhat lain dan bantahannya. Di antaranya :

Mereka berdalil dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Tuannya para syuhada adalah Hamzah.”

“Jihad yang paling utama adalah ucapan yang haq di hadapan penguasa yang zhalim.”

Aku tidak membahas tentang shahih atau tidaknya hadits ini. kuat perkiraanku bahwa ini adalah hadits yang shahih.  …

Perhatikan, “di hadapan”, “di hadapan penguasa yang zhalim”, apa makna “di hadapan”?

Apakah artinya adalah menampakkan secara terbuka di mass media? Baik media audio, cetak, maupun visual?

Atau di forum-forum keagamaan, baik ceramah, khutbah di mimbar-mimbar??

Ataukah itu maknanya adalah di hadapan, berhadap-hadapan dengan penguasan?

Semua orang berakal sepakat, bahwa maknanya adalah berhadap-hadapan langsung dengan penguasa. Langsung mengatakan di hadapannya, “ini salah, ini benar”.

 sumber http://ar.miraath.net/fatwah/9222

Terbaru

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca juga
Close
Back to top button