Ramadhaniyyah

Mulai Kapan Seorang Yang Safar Boleh Berbuka?

Para  ‘ulama berbeda pandangan dalam masalah ini dalam dua pendapat :

Pendapat Pertama, Tidak boleh bagi musafir untuk memulai berbuka kecuali apabila telah keluar dari kampungnya. Selama ia belum keluar dari kampungnya maka tidak boleh berbuka meskipun telah keluar dari rumahnya. Ini adalah pendapat Jumhur ‘ulama. Berdasarkan ayat :

Dan apabila kamu berjalan di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar  shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu. (An-Nisa’ : 101)

Allah ‘Azza wa Jalla mengaitkan bolehnya mengqashr shalat dengan “berjalan di muka bumi” demikian juga bolehnya tidak berpuasa bagi musafir. Karena sebelum ia berjalan maka tidak dinamakan musafir. Dan selama ia belum melewati batas kampungnya maka ia belum sebagai musafir. Maka statusnya masih masuk dalam keumuman ayat :

Barangsiapa di antara kalian yang hadir (mukim) pada bulan tersebut wajib berpuasa. (al-Baqarah : 185)

Demikian juga Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam tidak pernah mengambil rukhshah mengqashr shalat atau pun berbuka ketika beliau masih dalam kampungnya. Dalam peristiwa haji wada’ Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam shalat ketika masih di Madinah sebanyak 4 rakaat, kemudian ketika sampai di Dzul Hulaifah baru beliau mengqashr shalat. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

 

Demikian juga dalam peristiwa Fathu Makkah sebagaimana dalam hadits Jabir di atas, bahwa Nabi sebagai musafir awalnya masih dalam kondisi bershaum, dan tidaklah belia berbuka kecuali setelah sampai Kurra’ul Ghamim.

Pendapat Kedua, Pendapat kedua adalah pendapat yang menyatakan diperbolehkannya bagi musafir untuk berbuka dari shaumnya sejak hendak berangkat (walaupun masih di kampungnya). Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi, bahwa seorang tabi’in yang bernama Muhammad bin Ka’b berkata :

[sc_typo_arabic type=”regular” textalign=”right”] أَتَيْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ فيِ رَمَضَانَ وَهُوَ يُرِيدُ سَفَرًا وَ قَدْ رَحَلْتُ لَهُ رَاحِلَتَهُ وَ لَبِسَ ثِيَابَ السَّفَرِ، فَدَعَا بِطَعَامٍ فَأكَلَ، فَقُلْتُ لَهُ : سُنَّةٌ ؟ قَالَ : سُنَّةٌ؛ ثُمَّ رَكِبَ .[/sc_typo_arabic]

Artinya :

“Aku mendatangi Anas bin Malik pada bulan Ramadhan, ketika itu beliau hendak bepergian kemudian aku siapkan baginya kendaraannya. Ketika beliau memakai baju safarnya, kemudian beliau meminta makanan dan segera memakannya. Kemudian aku bertanya kepadanya : ‘Apakah (cara yang kau lakukan) ini termasuk sunnah (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam)?’ Beliau menjawab  : ‘Ya, (cara yang kulakukan) ini adalah sunnah.’ Kemudian beliau berangkat.” [HR. At-Tirmidzi] ([1])

hadits yang diriwayatkan dari shahabat Abi Bashrah, yang lafazhnya :

أَنَّ[sc_typo_arabic type=”regular” textalign=”right”] هُ رَكِبَ سَفِينَةً مِنَ اْلفُسْطَاطِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ فَرُفِعَ ثُمَّ قُرِّبَ غَدَاءُهُ فَلَمْ يُجَاوِزِ الْبُيُوتَ حَتَّى دَعَا بِالسُّـفْرَةِ ثُمَّ قَالَ : اِقْتَرِبْ ,قُلْتُ : أَلَسْتَ تَرَى الْـبُيُوتَ ؟! قَالَ : أَتَرْغَبُ عَنْ سُنَّةَ مُحَمَّدٍ  صلى الله عليه وسلم؟! فَأَكَلَ[/sc_typo_arabic]

Artinya :

“Bahwasannya beliau (Abu Bashrah) bersafar dengan  mengendarai kapal laut dari  Negeri Al-Fusthath pada bulan Ramadhan, kemudian dipersiapkan makan siang untuk beliau dalam keadaan belum melampaui rumah-rumah penduduk (kampungnya), tiba-tiba beliau meminta untuk dihidangkan makan siang seraya berkata (kepada yang didekatnya) : “mendekatlah kemari!” Kemudian dikatakan kepadanya : “Bukankah engkau masih melihat rumah-rumah penduduk.” Kemudian  beliau menjawab : “Apakah engkau tidak suka terhadap sunnah (Nabi Muhammad r) ?” Kemudian beliau pun segera makan.” [HR. Abu Dawud] ([2])

Pendapat ini adalah pendapat yang ditarjih oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam kitab beliau Al-Jaami’ ash-Shahih :Bab Barangsiapa yang Hendak Bersafar Boleh Baginya Untuk Makan dalam Keadaan Masih di Rumahnya Jika Sudah dalam keadaan Berkemas-kemas Untuk Safar”.([3]) Kemudian beliau menyebutkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi di atas.

Pendapat ini juga dikuatkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaani, sebagaimana dalam Al-Irwaa’ ketika menyebutkan hadits Abi Bashrah di atas.

Kemudian Asy-Syaikh Al-Albaani menyebutkan  bahwa hadits ini  telah dikeluarkan  pula dalam kitab beliau  :

تَصْحِيْحُ حَدِيثِ إِفْطَارِ الصَّائِمِ قَبْلَ سَفَرِهِ بعْدَ الْفَجْرِ و الرَّدّ عَلَى مَنْ ضَعَّفَهُ

“Penshahihan  Hadits “Bolehnya Berbuka Bagi Orang yang Bershaum Sebelum Memulai Safarnya Setelah Fajar”  dan Bantahan  Atas Orang yang Mendhaifkannya.”

______________________________

[1] HR. At-Tirmidzi no. 799.

[2] Irwaaul Gholiil hadits no. 928 , Shohih Sunan Abu Daud haidts no. 2412.

[3] Al-Jaami’ush Shohih karya Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Waadi’i jilid 2 hal. 382

Terbaru

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca juga
Close
Back to top button