Ramadhaniyyah

Musafir Berpuasa atau Tidak?

Seorang musafir boleh baginya untuk berbuka/tidak berpuasa. Ini berdasarkan dalil-dalil Al-Qur`an, As-Sunnah, dan Ijma’ para ‘ulama.

 [sc_typo_arabic type=”regular” textalign=”right”] { فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَر} [البقرة: 184] [/sc_typo_arabic]  

Barangsiapa di antara kalian yang sakit atau safar maka mengganti pada hari-hari lain.

Karena makna ayat tersebut adalah : Barangsiapa di antara kalian yang sakit atau safar dan tidak berpuasa maka mengganti pada hari-hari lain.

Adapun dalil dari As-Sunnah adalah :

1. Hadits yang diriwayatkan dari shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu :

[sc_typo_arabic type=”regular” textalign=”right”] أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم خَرَجَ عَامَ الْفَتْحِ إِلَى مَكَّةَ فِى رَمَضَانَ فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ كُرَاعَ الْغَمِيمِ فَصَامَ النَّاسُ ثُمَّ دَعَا بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ فَرَفَعَهُ حَتَّى نَظَرَ النَّاسُ إِلَيْهِ ثُمَّ شَرِبَ فَقِيلَ لَهُ بَعْدَ ذَلِكَ إِنَّ بَعْضَ النَّاسِ قَدْ صَامَ فَقَالَ « أُولَئِكَ الْعُصَاةُ أُولَئِكَ الْعُصَاةُ »[/sc_typo_arabic]

”Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam safar menuju Makkah pada tahun Fathu Makkah, pada bulan Ramadhan. Pada saat itu beliau sedang bershaum, hingga sampai ke daerah Kurra’ul Ghamim. Maka para shahabatpun ikut bershaum. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta bejana yang berisi air, kemudian beliau mengangkat bejana tersebut hingga para shahabat melihatnya, lalu beliau pun minum. Tiba-tiba dikabarkan kepada beliau bahwa sebagian shahabat masih tetap bershaum. Maka beliau r berkata : “Mereka (yang tetap bershaum ketika safar) adalah orang yang telah berbuat maksiat, mereka adalah orang yang telah berbuat maksiat”. [HR Muslim] ([1])

hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata :

[sc_typo_arabic type=”regular” textalign=”right”] سَافَرْنَا مَع َرَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي رَمَضَانَ، فَلَمْ يَعِبِ الصَّائِمُ عَلىَ اْلمُفْطِرِ وَ لاَ الْمُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ[/sc_typo_arabic]

Artinya :

Kami bepergian bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam   pada bulan Ramadhan, maka tidaklah orang yang bershaum mencela orang yang tidak bershaum, dan tidak pula orang yang tidak bershaum mencela orang yang bershaum.” [Muttafaqun ‘alahi] ([2])

Juga hadits Hamzah bin ‘Amr Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu :

[sc_typo_arabic type=”regular” textalign=”right”] يا رسول الله أجد بي قوة على الصيام في السفر فهل علي جناح ؟ فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم : هي رخصة من الله فمن أخذ بها فحسن ومن أحب أن يصوم فلا جناح عليه[/sc_typo_arabic]

Wahai Rasulullah, aku ini kuat untuk berpuasa ketika safar, apakah aku berdosa? Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam menjawab : “Itu (tidak berpuasa ketika safar) adalah rukhshah dari Allah, maka barangsiapa mengambilnya maka itu baik, namun barangsiapa yang lebih suka berpuasa maka tidak mengapa atasnya.” (Muslim 1121)

Jadi seorang musafir tidak berpuasa. Apabila ia berpuasa maka boleh baginya.

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Ini adalah pendapat jumhur ‘ulama dan semua ahli fatwa, berdasarkan hadits-hadits dalam bab ini dan lainnya yang sangat banyak.”  Ibnu Qudamah juga berkata,  “Ini adalah pendapat mayoritas ‘ulama.”

Ini berbeda dengan pendapat Az-Zuhri, An-Nakha’i, Azh-Zhahiriyyah, dan sekelompok ‘ulama lainnya yang menyatakan bahwa orang musafir tidak boleh berpuasa, apabila ia berpuasa maka tidak sah, dan wajib mengqadha’.

Dasar pendapat jumhur tampak lebih kuat. Berdasarkan ayat dengan makna di atas, serta hadits-hadits di atas. Juga berdasarkan hadits dari shahabat Abu Ad-Darda’ :

[sc_typo_arabic type=”regular” textalign=”right”] خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه و سلم في شهر رمضان في حر شديد حتى إن كان أحدا ليضع يده على رأسه من شدة الحر وما فينا صائم إلا رسول الله صلى الله عليه و سلم وعبدالله بن رواحة[/sc_typo_arabic]

Kami bepergian bersama Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam pada bulan Ramadhan dalam kondisi cuaca sangat panas, sampai-sampai salah seorang di antara kami meletakkan tangannya di atas kepalanya karena panas yang begitu terik. Tidak ada di antara kami yang berpuasa kecuali Rasulullah dan ‘Abdullah bin Rawahah saja. (Muslim)

Hadits tersebut menegaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam berpuasa ketika dalam kondisi safar, demikian juga ‘Abdullah bin Rawahah radhiyallahu ‘anhu dan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam tidak mengingkarinya. Hal ini menunjukkan bolehnya berpuasa ketika safar dan puasanya sah.

 

Musafir ada beberapa kondisi :

Kondisi Pertama, Musafir yang mengalami madharat dan rasa berat yang sangat dengan ia berpuasa. Maka dalam kondisi seperti ini tidak boleh baginya untuk berpuasa. Hal ini berdasarkan hadits Jabir di atas, bahwa tatkala disampaikan kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam sebagian shahabat Nabi masih tetap berpuasa padahal mereka dalam kondisi berat dan sulit, maka Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam berkata tentang mereka tersebut :

[sc_typo_arabic type=”regular” textalign=”right”] « أُولَئِكَ الْعُصَاةُ أُولَئِكَ الْعُصَاةُ ».[/sc_typo_arabic]

“Mereka (yang tetap bershaum ketika safar) adalah orang yang telah berbuat maksiat, mereka adalah orang yang telah berbuat maksiat”. [HR Muslim]

 

Dan tidaklah sebuah kemaksiatan itu kecuali disebabkan oleh dosa. Ini berdasarkan kesepakatan para ‘ulama.

Kondisi Kedua, Musafir yang mengalami kesulitan dengan ia berpuasa namun masih dalam batas kemampuan. Maka dalam kondisi ini sunnah untuk tidak berpuasa. Ini adalah pendapat sekelompok para ‘ulama. Karena seseorang tidak boleh menjatuhkan dirinya dalam kesulitan, dan karena berpuasa dalam kondisi seperti ini keluar dari rukhshah yang diberikan oleh Allah ‘Azza wa Jalla.

Kondisi Ketiga, Musafir yang sama ringan kondisinya, baik ia berpuasa maupun tidak berpuasa. Maka boleh baginya untuk berpuasa boleh tidak.

 

Namun untuk kondisi ketiga ini, mana yang lebih afdhal : berpuasa atau berbuka (tidak berpuasa)?

Terjadi perbedaan di kalangan para ‘ulama :

 

Pendapat Pertama, Tidak berpuasa afdhal. Ini adalah pendapat Al-Imam Ahmad, Ishaq, Al-Auza’i, dan juga sebelumnya pendapat Ibnu Musayyib dan Asy-Sya’bi.

Berdasarkan hadits :

[sc_typo_arabic type=”regular” textalign=”right”] « لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِى السَّفَرِ »[/sc_typo_arabic]

Tidaklah termasuk kebaikan berpuasa ketika safar (Muttafaqun ‘alaihi)

Juga hadits :

[sc_typo_arabic type=”regular” textalign=”right”] هي رخصة من الله فمن أخذ بها فحسن ومن أحب أن يصوم فلا جناح عليه[/sc_typo_arabic]

“Itu (tidak berpuasa ketika safar) adalah rukhshah dari Allah, maka barangsiapa mengambilnya maka itu baik, namun barangsiapa yang lebih suka berpuasa maka tidak mengapa atasnya.” (Muslim 1121)

Pendapat Kedua, Berpuasa afdhal bagi siapa yang kuat berpuasa tanpa adanya kesulitan. Ibnu Hajar menisbahkan pendapat ini kepada Jumhur. Dalilnya hadits dari shahabat Abu Ad-Darda’ :

[sc_typo_arabic type=”regular” textalign=”right”] خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه و سلم في شهر رمضان في حر شديد حتى إن كان أحدا ليضع يده على رأسه من شدة الحر وما فينا صائم إلا رسول الله صلى الله عليه و سلم وعبدالله بن رواحة[/sc_typo_arabic]

Kami bepergian bersama Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam pada bulan Ramadhan dalam kondisi cuaca sangat panas, sampai-sampai salah seorang di antara kami meletakkan tangannya di atas kepalanya karena panas yang begitu terik. Tidak ada di antara kami yang berpuasa kecuali Rasulullah dan ‘Abdullah bin Rawahah saja. (Muslim)

Pendapat Ketiga, Ia diberi kebebasan memilih secara mutlak. Ini adalah pendapat Qatadah dan sejumlah ‘ulama. Al-Qurthubi cenderung pada pendapat ini.

Pendapat Keempat, yang paling utama adalah yang termudah baginya. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Mundzir. Berdasarkan firman Allah Ta’ala :

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (Al-Baqarah : 185)

Pendapat yang ditarjih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah adalah pendapat pertama, ketika beliau ditanya tentang seorang musafir pada bulan Ramadhan yang sama sekali tidak tertimpa rasa lapar, dahaga, maupun lelah. Yang lebih utama baginya bershaum ataukah tidak bershaum?

Maka beliau rahimahullah menjawab :

“Sementara hukum seorang musafir, maka dia berbuka (tidak bershaum) berdasarkan kesepakatan umat Islam, walaupun tidak mengalami rasa berat, dan berbuka (tidak bershaum) afdhal (lebih utama) baginya. Kalau pundia tetap bershaum hukumnya boleh menurut pendapat mayoritas ‘ulama.” [3])

Pendapat pertama juga ditarjih (dikuatkan) Asy-Syaikh Bin Baz rahimahullah, beliau berkata :

“Yang lebih utama adalah berbuka (tidak bershaum) bagi seorang musafir secara mutlak. … sebagaimana dalam sebuah hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  :

«[sc_typo_arabic type=”regular” textalign=”right”] إِنَّ اللهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ » وَفِي لَفْظٍ : « كَمَا يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى عَزَائِمُهُ »[/sc_typo_arabic]

Sesungguhnya Allah sangat suka untuk digunakankan rukhsah-Nya sebagaimana Dia benci untuk dikerjakan kemaksiatan kepada-Nya.” Dalam salah satu lafazh yang lain : “sebagaimana Allah juga sangat suka untuk dilaksanakan perintah-perintah-Nya.”

Tidak ada perbedaan dalam hukum tersebut, baik seorang yang safar dengan menggunakan kendaraan, onta, perahu, ataupun kapal laut; dengan seorang yang safar menggunakan pesawat terbang. Semua itu masuk dalam nama ‘safar’, dan mendapatkan rukhshah (disepensasi) dari Allah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah mensyari’atkan kepada hamba-hamba-Nya berbagai hukum terkait dengan safar dan mukim, baik pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  atau pun bagi orang-orang yang datang sesudah masa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga hari Kiamat. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala  Maha Mengetahui apa yang akan terjadi dari berbagai bentuk perkembangan dan berjenis-jenisnya alat-alat transportasi. Kalau seandainya hukum tersebut berbeda pasti Allah akan menjelaskannya, sebagaimana firman-Nya dalam surat An-Nahl :

{[sc_typo_arabic type=”quran” textalign=”right”] وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ (89)} [النحل: 89][/sc_typo_arabic]

dan telah Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk sekaligus rahmat dan kabar gembira bagi kaum muslimin.[An-Nahl : 89]

Allah Subhanahu wa Ta’ala  juga berfirman :

[sc_typo_arabic type=”quran” textalign=”right”] {وَالْخَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيرَ لِتَرْكَبُوهَا وَزِينَةً وَيَخْلُقُ مَا لَا تَعْلَمُونَ (8)} [النحل: 8][/sc_typo_arabic]

Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bighal [4]) dan keledai, agar kalian menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kalian tidak mengetahuinya. [An-Nahl : 8]

sekian Asy-Syaikh Bin Baz [5])

[1] Lihat Muslim Kitabush Shiyaam, hadits no. 1114

[2] Al Bukhari hadits no. 1947, Muslim hadits no. 1118.

[3] dalam Majmu’ul Fatawa (XXV/213-214).

[4] Bighal yaitu peranakan kuda dengan keledai.

[5] dalam kitab Tuhfatul Ikhwan Bi Ajwibah Tata’allaqu bi Ahkamil Islam, hal. 161-162.

Terbaru

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca juga
Close
Back to top button