Manhaj

Apakah al-Jarh wa at-Ta’dil hanya boleh dilakukan oleh ‘Ulama?

Apakah al-Jarh wa at-Ta’dil hanya boleh dilakukan oleh ‘Ulama

 asy-Syaikh al-‘Allamah Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah

Pertanyaan :

Al-Jarh wa at-Ta’dil terhadap tokoh-tokoh tertentu, apakah itu hak khusus para ‘ulama saja, atau (boleh juga dilakukan) oleh para syabab (pemuda) yang memiliki pengetahuan. Apa yang dipersyaratkan dalam pengetahuan tersebut?

Jawab :

Al-Jarh wa Ta’dil dipersyaratkan kelurusan aqidahnya, sebagaimana diisyaratkan oleh al-Khathib al-Baghdadi. Dipersyaratkan pula padanya ilmu tentang sebab-sebab jarh (kenapa seseorang dijarh). Harus berilmu. Harus ada padanya ketaqwaan dan wara’.

Maka apabila orang yang mengkritik, dia berilmu tentang al-Jarh wa at-Ta’dil, dia memiliki wara’ dan taqwa, maka boleh baginya melakukan jarh.

Apabila kondisi orang yang di-jarh (dikritik/dicela) memang jelas, diketahui oleh orang khusus maupun umum; diketahui bahwa orang ini mencuri, dan orang itu berzina, diketahui secara pasti. Diketahui bahwa orang ini pengkhianat, diketahui bahwa orang ini rafidhah, diketahui bahwa orang ini seorang shufi biasa thawaf di kuburan dan mengadakan perayaan-perayaan maulid. Hal-hal seperti ini merupakan perkara-perkara yang jelas, yang bisa diketahui oleh seorang ‘ulama atau pun bukan ‘ulama. Dalam kondisi seperti ini, tidak dipersyaratkan bagi seorang yang telah tahu kesesatan-kesesatan mereka untuk pergi kepada ‘ulama supaya men-jarh orang-orang tersebut. Karena memang kondisi mereka sangat jelas, baik terhadap ‘ulama maupun yang bukan ‘ulama. Wajib atas setiap muslim, untuk menjelaskan kondisi mereka, mentahdzir umat dari bahaya mereka, dan menginkari kesesatan-kesesatan mereka.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemunkaran, hendaknya ia mengubah kemunkaran tersebut dengan tangannya, … ” al-Hadits.

Wajib atas setiap muslim untuk memberikan nasehat terhadap kaum muslimin. “Aku berbai’at kepada Rasulullah untuk menegakkan shalat, membayar zakat, dan memberikan nasehat kepada setiap muslim.”

“Agama adalah nasehat.” Kami bertanya, “Untuk siapa?” beliau menjawab, “Untuk Allah, Rasul-Nya, kitab-Nya, dan para pimpinan kaum muslimin, serta keumuman kaum muslimin.”

Sekarang, jika aku melihat seorang penganut rafidhah, bergaul dengan manusia, mengajak kepada Rafidhah, apakah aku harus pergi kepada ‘ulama agar men-jarh-nya?

Atau, ketika aku melihat seorang shufi penyembah kubur, bergaul dengan seseorang yang masih memiliki fithrah yang lurus, si shufi tersebut mengarahkan orang tersebut kepada kebid’ahannya. Sementara aku tahu bahwa dia itu seorang penyembah kubur. Maka tidak harus bagiku, tidak harus pula orang selainku, untuk pergi kepada seorang ‘ulama agar ‘ulama tersebut menjelaskan kondisinya dan mentahdzir darinya.

 [ Majmu’ Kutub wa Rasa’il wa Fatawa asy-Syaikh Rabi’ XIV/262-263 ]

Terbaru

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button