Aqidah

Islam Menepis Mitos Sial Bulan Shafar

Dahulu, orang-orang Arab jahiliah memiliki keyakinan yang salah terhadap bulan Shafar. Mereka menganggap bahwa bulan kedua penanggalan hijriyah tersebut adalah bulan sial dan bisa mendatangkan bencana. Sehingga pada bulan itu, mereka tidak mau melakukan aktivitas yang biasa mereka lakukan pada bulan-bulan lainnya, seperti pernikahan dan lain sebagainya.

Mitos Bulan Shafar di Negeri Ini
Sangat disayangkan, kepercayaan dan tradisi Arab jahiliah tersebut masih dianut oleh sebagian umat Islam di dunia, termasuk sebagian kaum muslimin di negeri ini. Menurut mereka, bulan Shafar memiliki sifat yang hampir sama dengan bulan sebelumnya, yaitu bulan Muharram (Suro). Diyakini bahwa kedua bulan ini merupakan bulan yang penuh bala’, malapetaka, dan membawa sial. Sebagian umat Islam di negeri ini masih mempercayai bahwa bulan Muharram dan Shafar dipenuhi dengan hal-hal yang bersifat ketidakberuntungan. Sehingga mereka pun beranggapan bahwa bulan tersebut merupakan saat yang tidak baik untuk mengadakan acara-acara penting semacam pernikahan, khitanan, membangun rumah, pindah rumah, dan sebagainya.
Bahkan di beberapa tempat, saat memasuki bulan Shafar, sebagian orang menyibukkan diri dengan melakukan tirakat dan bershadaqah hingga berlalunya bulan ini. Lalu pada puncaknya, yaitu pada hari Rabu terakhir bulan Shafar, mereka melaksanakan berbagai ritual dalam rangka memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar dijauhkan dari bencana dan malapetaka, bahkan sebagiannya menuliskan rajah-rajah tertentu di kertas lalu dimasukkan ke dalam bak mandi, sumur, dan tempat-tempat penampungan air lainnya. Walaupun banyak kalangan yang menilai bahwa ritual seperti ini merupakan penyimpangan karena tidak pernah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun tidak sedikit kaum muslimin yang masih saja meneruskan dan melestarikannya.

Thiyarah Telah Dihapus oleh Islam
Dalam kamus syari’at, anggapan atau keyakinan di atas dinamakan dengan tathayyur atau thiyarah, yaitu menganggap datangnya kesialan (nasib buruk) semata-mata bersandarkan pada apa yang dilihat, didengar, atau dengan bersandarkan pada waktu tertentu. (Lihat al-Qaulul Mufid).
Contoh menganggap datangnya kesialan semata-mata dengan bersandarkan pada apa yang dilihat adalah sebagaimana juga kebiasaan orang Arab jahiliah, bahwa ketika hendak bepergian atau melakukan aktivitas tertentu, mereka menerbangkan seekor burung. Kemudian dilihat apakah burung tersebut terbang ke arah kanan atau ke arah kiri. Kalau ke arah kanan, mereka meyakini adanya keberuntungan sehingga mereka meneruskan aktivitasnya. Dan sebaliknya, kalau ke arah kiri, mereka mengurungkannya. Karena mereka menganggap hal ini pertanda akan datangnya nasib buruk kalau mereka tetap melanjutkan aktivitasnya.
Adapun contoh menganggap datangnya kesialan semata-mata bersandarkan pada apa yang didengar adalah keyakinan bahwa orang yang mendengar suara burung tertentu berarti sebentar lagi akan mengalami nasib buruk, atau setidaknya akan mendengar berita yang tidak disukainya.
Sedangkan contoh menganggap datangnya kesialan semata-mata dengan bersandarkan pada waktu tertentu adalah beranggapan bahwa pada waktu-waktu tertentu, seseorang tidak boleh mengadakan acara semacam pernikahan, khitanan, atau yang lainnya karena hal itu tidak akan membawa keberuntungan bagi yang punya hajat. Biasanya waktu-waktu yang dimaksud di sini adalah bulan Muharram, Shafar, hari Rabu, malam Jum’at, dan sebagainya.
Orang-orang Arab jahiliah sejak dahulu terus berada di atas aqidah dan kepercayaan yang menyimpang ini. Dikatakan menyimpang karena nampak sekali bahwa orang yang terjatuh ke dalam perbuatan thiyarah menunjukkan lemahnya iman dan tauhid dia kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Hal ini disebabkan karena orang yang melakukan thiyarah berarti telah meyakini bahwa kejelekan dan nasib buruk yang menimpa itu tidak lain disebabkan oleh makhluk, baik waktu, tempat, ataupun kejadian yang dilihat atau didengar. Sementara ia lupa atau pura-pura tidak tahu bahwa sebenarnya segala yang menimpa hamba itu, dari nasib yang baik maupun yang buruk merupakan ketentuan dan taqdir Allah subhanahu wa ta’ala.Kalau Allah subhanahu wa ta’ala berkehendak, maka musibah, bencana, dan kesialan itu pasti akan datang dan bisa menimpa siapapun, kapanpun dan di manapun hamba berada.
Musibah itu datang bukan karena mendengar suara burung hantu atau burung gagak. Nasib buruk itu menghampiri seseorang bukan karena melihat kucing hitam di tengah jalan yang ia lewati. Demikian pula ketidakharmonisan rumah tangga itu bukan disebabkan pernikahan yang dilangsungkan di bulan Muharram atau bulan Shafar.
Thiyarah ini terus menjadi tradisi di kalangan bangsa Arab jahiliah, hingga datanglah Islam yang kemudian meluruskan keyakinan yang bengkok ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
[sc_typo_arabic type=”regular” textalign=”right”] لاَ عَدْوَى وَلاَ صَفَرَ وَلاَ هَامَةَ[/sc_typo_arabic]
“Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada (kesialan) pada bulan Shafar, tidak ada (kesialan) pada burung hantu.” (HR. al-Bukhari no. 5717, dan Muslim no. 220)

Hadits ini merupakan sanggahan terhadap mitos dan kepercayaan orang-orang jahiliyyah, bahwa penyakit bisa menular dengan sendirinya tanpa adanya taqdir Allah subhanahu wa ta’ala.
Kemudian sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “tidak ada (kesialan) pada burung hantu,” mengandung penghapusan terhadap keyakinan orang-orang jahiliyyah, yaitu apabila burung tersebut hinggap di rumah mereka, maka mereka akan mendapat kesialan, seraya mengatakan, “Burung ini membawa kabar buruk tentang aku atau salah seorang penghuni rumahku.” Sehingga ia pun meyakini bahwa dirinya atau salah satu anggota keluarganya akan tertimpa musibah, sebagai bentuk kesialan dari burung tersebut. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menepis dan membantah keyakinan ini.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “tidak ada (kesialan) pada bulan Shafar,” adalah bantahan terhadap orang-orang jahiliah dahulu yang menganggap bulan Shafar sebagai bulan sial. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa bulan tersebut tidak bisa memberikan pengaruh apa-apa. Bulan tersebut sama seperti bulan-bulan lainnya.
Dalam Islam, tidak ada bulan maupun hari yang dianggap buruk atau mendatangkan kesialan karena semua itu adalah sebatas anggapan manusia semata. Tidak ada seorang pun yang memiliki pengetahuan -walaupun sedikit- tentang hari baik maupun hari buruk. Dengan tegas Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan bahwa bencana yang menimpa itu justru terjadi akibat dari perbuatan manusia itu sendiri, bukan karena hari sial atau yang semisalnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya), “Dan apa saja musibah yang menimpa kalian, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahan kalian).” (Asy-Syura: 30)

Akibat Thiyarah
Seseorang yang sudah terbiasa melakukan thiyarah, maka hidup ini akan terasa sempit baginya. Dia akan selalu dihinggapi oleh rasa khawatir. Perasaan takut akan bernasib sial selalu terbayang di benaknya. Setiap kali mendengar atau melihat pemandangan yang tidak disukainya, muncul anggapan bahwa itu pertanda ia akan bernasib sial. Sehingga ia pun takut untuk melakukan aktivitasnya ketika itu.
Setiap kali akan mengadakan acara tertentu, ia pun memilih hari-hari yang menurut keyakinannya adalah hari baik, sehingga iapun benci, anti, dan bahkan terkadang sampai mencela hari, bulan, maupun waktu-waktu tertentu lainnya yang dianggap hari nahas.
Barangsiapa yang menganggap sial waktu tertentu atau mencelanya, maka sungguh berarti ia telah mencela dan menganggu Dzat Yang menciptakannya. Sebagaimana dalam sebuah hadits qudsi, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
[sc_typo_arabic type=”regular” textalign=”right”] يُؤْذِيْنِيْ ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ[/sc_typo_arabic]
Anak Adam (manusia) menyakiti-Ku, (dengan) mencela waktu. Padahal Aku adalah pengatur waktu, Aku yang membolak-balikkan malam dan siang.” (HR. al-Bukhari no. 4826 dan Muslimno. 2246)

Bangsa Arab jahiliah dahulu terbiasa menyandarkan berbagai musibah dan kesusahan yang mereka alami kepada waktu tertentu. Sehingga ketika terjadi musibah, mereka pun mencela waktu saat terjadinya musibah tersebut. Dalam hal ini, berarti mereka telah mencela Allah subhanahu wa ta’ala, Dzat yang menciptakan dan mengatur waktu.
Para pembaca yang dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengabarkan bahwa sebanyak 70.000 orang dari umatnya akan masuk ke dalam surga secara langsung tanpa melalui proses hisab (perhitungan amalan) dan tanpa merasakan adzab di neraka terlebih dahulu. Di antara ciri mereka adalah tidak pernah melakukan thiyarah (HR. al-Bukhari no. 6541, dan Muslim no. 220). Berarti orang yang melakukan thiyarah akan terhalangi dari meraih keutamaan ini.

Akhir Kata
Semestinya bagi umat Islam untuk memperbanyak doa, zikir, dan amal shalih di setiap waktunya. Tidak hanya di bulan Shafar saja, namun juga di bulan-bulan yang lain. Di samping itu, kemaksiatan dan segala bentuk kemungkaran harus dijauhi. Apalah artinya seseorang rajin beribadah, namun ia masih tetap saja bergelimang dengan maksiat, riba, tidak jujur, menipu, menggunjing tetangga, korupsi, bermain suap, kesyirikan, dan keengganan dalam menjalankan sunnah Rasul jelas merupakan kemungkaran yang akan mendatangkan bencana dan murka Allah. Allah berfirman (artinya), “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Ar-Rum: 41)

Para pembaca rahimakumullah. Tidaklah musibah itu datang karena mengadakan acara hajatan di bulan Shafar. Tidak pula azab Allah subhanahu wa ta’ala itu menimpa karena tidak menjalankan ritual khusus di bulan Shafar. Sebaliknya, ketika bencana itu tidak menimpa seseorang, maka bukan karena ia telah menunaikan semua prosesi ritual di bulan Shafar yang diada-adakan sendiri tanpa ada bimbingan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketahuilah bahwa adzab Allah subhanahu wa ta’ala, bencana, dan bala’ itu tidak akan turun menimpa hamba selama hamba tersebut beriman kepada Allah dengan keimanan yang benar dan bersyukur kepada-Nya dengan sebenar-benarnya syukur. Allah berfirman (artinya),“Mengapa Allah akan menyiksa kalian, jika kalian bersyukur dan beriman?” (An-Nisa`: 147)

Di antara bentuk keimanan yang benar adalah menjauhkan diri dari segala bentuk thiyarah. Yakin bahwa tidak ada hari, tanggal, atau bulan tertentu yang dapat mendatangkan kesialan. Segala musibah yang telah Allah subhanahu wa ta’ala tentukan pasti akan menimpa siapapun, kapanpun, dan di manapun tanpa ada hubungannya sedikitpun dengan waktu atau keadaan tertentu.
Demikian pula banyak beristighfar (meminta ampun), akan mencegah datangnya azab Allah subhanahu wa ta’ala kepada hamba-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya), “Dan tidaklah Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun.” (Al-Anfal: 33)
Maka hendaknya masing-masing kita mengoreksi diri, sudahkah iman ini dan keyakinan kita benar dan bersih dari segala yang mengotorinya? Sudahkah diri ini bersyukur atas nikmat yang selama ini dirasakan? Sudahkah hati ini jujur dalam meminta ampun, bertaubat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan kembali ke jalan-Nya?
Wallahu a’lam bish shawab.

sumber: http://mahad-assalafy.com/2014/11/23/islam-menepis-mitos-sial-bulan-shafar/

Terbaru

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca juga
Close
Back to top button