Fiqih

BERIEDUL FITRI DALAM BINGKAI SUNNAH NABI

Iedul Fitri merupakan salah satu hari raya yang Allah subhanahu wata’ala  anugerahkan kepada kaum muslimin. Dinamakan Iedul Fitri karena ia selalu berulang setiap tahun dengan penuh kegembiraan. Diantara bentuk kegembiraan itu adalah makan, minum, menggauli istri dan lain sebagainya dari hal-hal mubah yang sebelumnya tidak boleh dilakukan di siang hari Ramadhan.

Namun lebih menjadi bermakna, tatkala hari yang mulia tersebut dipenuhi amalan-amalan yang sesuai dengan sunnah Nabi

Kapan Kita Beriedul Fitri ? 

Hari raya Iedul Fitri jatuh pada tanggal 1 Syawwal yang dihasilkan dari ru’yatul hilal bukan dengan ilmu hisab. Rasulullah bersabda:

[sc_typo_arabic type=”regular” textalign=”right”] صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا العِدَّةَ ثَلاَثِينَ[/sc_typo_arabic]  .

“Bershaumlah berdasarkan ru’yatul hilal dan berhari rayalah berdasarkan ru’yatul hilal. Jika terhalangi oleh mendung (atau semisalnya) maka genapkan bilangan (Ramadhan) menjadi 30 hari.” (HR. Al-Bukhari)

Iedul Fitri dan juga shaum Ramadhan merupakan syiar keutuhan dan kebersamaan, namun sangat disayangkan ketika syiar ini mulai ternodai oleh perselisihan dan perpecahan di antara kaum muslimin (yang ternyata dipelopori oleh ormas-ormas Islam sendiri) di dalam menentukan Iedul Fitri ataupun shaum Ramadhan.
Padahal Nabi bersabda:

[sc_typo_arabic type=”regular” textalign=”right”] الصَوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ[/sc_typo_arabic]

“Shaum itu pada waktu bershaumnya kaum muslimin, berbuka pada saat berbukanya kaum muslimin, dan berkurban pada saat kaum muslimin berkurban.” (HR. At-Tirmidzi dengan sanad shahih)

Yakni bersama Pemerintah Kaum Muslimin.

Sehingga para ulama terpandang seperti Asy-Syaikh Al- Albani dan Asy-Syaikh Ibnul Utsaimin menasehatkan agar setiap muslim mengikuti pemerintahnya masing-masing. (Lihat Tamamul Minnah hal. 398 dan Asy-Syarhul Mumti’ 6/322)

Di samping itu kami juga mewasiatkan kepada pemerintah -semoga Allah merahmati mereka- agar melandaskan keputusan masuk dan keluarnya Ramadhan secara syar’i, yaitu dengan ru’yatul hilal dan tidak dengan ilmu hisab.

Hukum Shalat Ied

Para ulama berbeda pendapat dalam permasalahan ini menjadi tiga pendapat yaitu: sunnah, wajib kifayah, dan wajib ‘ain. (Fathul Bari 8/423-424, karya Ibnu Rajab).

Namun perlu diketahui bahwa Rasulullah dan para sahabatnya senantiasa mengerjakan shalat tersebut bahkan beliau memerintahkan para gadis dan wanita haidh untuk keluar menuju ke mushalla Ied (tanah lapang).

Di Mana Kita Shalat Ied Dan Apa Tuntunan Menuju Tempat Shalat Tersebut?
Shalat Ied secara syari’at dilaksanakan di mushalla Ied (tanah lapang) bukan di masjid, dan inilah yang dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya ?, dalam keadaan mereka sangat memahami keutamaan shalat di Masjid Nabawi yang menyamai seribu kali shalat di selainnya (kecuali Masjidil Haram). Tetapi dengan semua itu, Rasulullah , Khulafaur Rasyidin dan seluruh sahabatnya ? tetap melaksanakan shalat Ied di mushalla (tanah lapang).

Hal ini berlandaskan hadits Abu Sa’id Al Khudri , beliau berkata:

[sc_typo_arabic type=”regular” textalign=”right”] كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يخْرُجُ يومَ الفِطْرِ و الأَضْحَى إلى المُصَلَّى[/sc_typo_arabic]  … .

“Dahulu Rasulullah selalu keluar menuju mushalla (tanah lapang) untuk melaksanakan shalat Iedul Fitri dan Iedul Adha…. (HR. Al-Bukhari no. 956)

Asy-Syaikh Al-Albani berkata: “Sunnah nabi sesuai dengan hadits-hadits yang shahih menunjukkan bahwa beliau selalu mengerjakan dua shalat Ied di tanah lapang pinggiran kampung, dan ini terus berkelanjutan di masa generasi pertama (umat ini), mereka tidak melaksanakan di masjid-masjid kecuali bila ada udzur yang darurat seperti hujan dan sejenisnya. Inilah madzhab imam yang empat dan selain mereka dari para imam.” (Shalatul ‘Iedaini fil Mushalla Hiyas Sunnah, hal. 35).
Sehingga sangat berlebihan orang yang mengatakan bahwa shalat Ied tidak boleh dilaksanakan di masjid walaupun ada udzur yang darurat, demikian pula orang yang mengatakan bahwa tidak ada shalat kalau tidak di tanah lapang.

Adapun cara menuju mushalla Ied (tanah lapang) adalah:

Pertama: Berhias dengan pakaian yang terbaik (yang dia miliki), sebagaimana hadits Ibnu Umar . (HR. Al-Bukhari no. 948)
Kedua: Makan beberapa butir kurma sebelum berangkat, sebagaimana hadits Anas . (HR. Al-Bukhari no. 953)
Ketiga: Berangkat dan pulang melewati jalan yang berbeda, sebagaimana hadits Jabir . (HR. Al- Bukhari no. 986)
Keempat: Mengeraskan takbir semenjak keluar dari rumah sampai ditegakkannya shalat. (Ash Shahihah 1/1/329-330)

Adapun lafadz takbirnya, maka tidak ada satupun hadits yang shahih yang menentukan bacaannya. Hanya saja terdapat beberapa atsar sahabat yang shahih yang menerangkan bacaan tersebut.

Di antaranya: Allahu Akbar Allahu Akbar, Laailaaha illallahu Wallahu Akbar Allahu Akbar Walillahil Hamdu

atau Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar Laailaaha illallahu Wallahu Akbar Allahu Akbar Walillahil Hamdu, atau yang lainnya.

(Al Irwa’ 3/125-126)

Di dalam bertakbir ini, tidak disyariatkan untuk dikerjakan secara berjama’ah dengan satu suara. (Ash-Shahihah 1/1/331)

Dan perlu diingatkan, apa yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin dengan menambahkan shalawat di sela-sela takbir. Hal ini merupakan suatu kekeliruan, karena tidak pernah dinukilkan dari Rasulullah , Khulafaur Rasyidin dan para sahabatnya ?.

Apa Yang Dilakukan Setiba Di Tempat Mushalla Ied?

Ketika tiba di tempat shalat, hendaknya terus bertakbir hingga imam memulai shalat. Adapun shalat sunnah qabliyyah dan ba’diyyah Ied, maka tidak ada tuntunannya, sebagaimana hadits Ibnu Abbas :

[sc_typo_arabic type=”regular” textalign=”right”] … لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا … [/sc_typo_arabic]

“…(Nabi ) belum pernah sholat (sunnah) sebelum shalat Ied ataupun sesudahnya…”. (HR. Al-Bukhari no. 989)

Tidak Ada Adzan dan Iqamah
Hal ini diterangkan di dalam hadits Jabir . (HR. Muslim no. 887)

Adapun ucapan: “Ash-Shalaatu Jaami’ah”, maka Al-Imam Ibnul Qayyim berkata: ”Yang sunnah adalah tidak mengucapkan itu semua.” (Zaadul Ma’ad 1/427).

Wajibnya Shalat Menghadap Sutrah
Sutrah adalah sesuatu yang diletakkan di depan orang yang shalat untuk menghalangi orang yang melewati di hadapannya. Memakai sutrah merupakan perkara yang wajib berdasarkan hadits Ibnu Umar . Beliau berkata:
“Rasulullah jika keluar menuju shalat Ied ke tanah lapang, beliau memerintahkan dibawakan tombak yang ditancapkan di hadapannya kemudian shalat menghadap tombak tersebut.” (HR. Al- Bukhari, hadits no. 494 dan 972).

Tata Cara Shalat Ied
Shalat Ied berjumlah dua rakaat, dimulai dengan takbiratul ihram, kemudian bertakbir 7 kali (selebihnya seperti shalat lainnya). Dan pada rakaat kedua bertakbir 5 kali selain takbir perpindahan gerakan dari rakaat pertama menuju rakaat kedua, (selebihnya seperti shalat lainnya). Dan ini yang dijelaskan oleh Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah 4/309. Di antara dasar tata caranya adalah hadits Aisyah yang diriwayatkan Abu Dawud dan selainnya dengan sanad shahih. (Al-Irwa’ hadts no. 639)

Adapun bacaan surat yang disunnahkan padanya adalah Surat Qaaf dan Al-Qamar. (HR. Muslim no. 892), atau Surat Al- A’la dan Al-Ghasyiyah (HR. Muslim no. 878)

Dan jika ketinggalan shalat bersama imam, maka shalat 2 rakaat yang dilakukan secara sendirian. Al-Imam Al-Bukhari berkata: “Bab: Jika Ketinggalan Shalat Ied Maka Shalat 2 Rakaat.“ (Fathul Baari 2/550, karya Ibnu Hajar)

Bagaimana Dengan Wanita ?
Kaum wanita diperintah oleh Rasulullah untuk menghadiri shalat Ied, sebagaimana perkataan Ummu Athiyyah: “Kami diperintah untuk menghadirkan gadis-gadis dan wanita-wanita haidh pada 2 hari raya (Iedul Fitri dan Iedul Adha –red), agar mereka menyaksikan kebaikan dan syiar dakwah kaum muslimin, sedangkan yang haidh diminta untuk menjauhi tempat shalat.“ (Muttafaqun ‘alaihi)

Namun ada 2 hal yang perlu diingat:
Pertama: Hendaknya keluar dengan tidak berhias, tidak memakai wewangian, dan tidak campur baur dengan laki-laki, karena dilarang oleh Rasulullah dan bisa menjadi fitnah bagi kaum lelaki.
Kedua: Tidak boleh berjabat tangan dengan selain mahramnya, sebagaimana sabda Nabi ketika membaiat kaum wanita: ”Sungguh aku tidak berjabat tangan dengan wanita (yang bukan mahram).” (HR. An-Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad)
Juga sabda beliau: “Benar-benar kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.“ (HR. Adh-Dhiyaa’ Al-Maqdisi)
Dan hukum haramnya perbuatan ini ada di dalam kitab-kitab empat madzhab. (Lihat Ahkamul Iedain hal. 82)

Hukum Memakai Mimbar Di Dalam Khutbah

Rasulullah tidak pernah berkhutbah Ied dengan memakai mimbar akan tetapi beliau berdiri di atas tanah. Adapun orang yang pertama kali berkhutbah Ied dengan memakai mimbar adalah Marwan bin Al Hakam dan perbuatan itu telah diingkari oleh Abu Said Al-Khudri dan dinyatakan bahwa hal itu menyelisihi sunnah Rasulullah . (Fathul Bari hadits no. 956 dan Zadul Ma’ad 1/ 429 dan 431)
Kaum muslimin, siapa pun dari kita pasti berharap agar keluar dari bulan suci Ramadhan dalam keadaan suci dari dosa dan penuh dengan karunia serta rahmat ilahi. Maka dari itu marillah kita berupaya untuk menuju kehidupan yang lebih mulia dengan meninggalkan beberapa kemungkaran yang terjadi pada Ied atau sebelumnya. Di antaranya adalah:
1. Menyerupai orang-orang kafir dalam hal berpakaian dan berpesta pora.
2. Menggelar pesta judi, dan bertamasya ke tempat-tempat hiburan dan maksiat.
3. Pengkhususan ziarah kubur di hari Ied atau sebelumnya.
4. Pengkhususan malam Ied untuk melakukan ritual ibadah tertentu.
5. Berpuasa di hari Ied.
6. Pelarangan wanita untuk menghadiri shalat Ied.
7. Ikhtilath (campur baur antara pria dan wanita yang bukan mahram).
8. Tidak peduli terhadap fakir miskin yang kekurangan di hari itu.
9. Menghiasi masjid dengan lampu-lampu hias, bunga dan sejenisnya.

10. Berhias dan penampilan yang melanggar syari’at Islam. Diantaranya : kaum wanita tidak menutup auratnya, berbaju dengan hiasan dan warna-warni, berdandan, dan sebagainya. Sementara kaum pria mencukur jenggot, bercelana ketat, celananya terlalu panjang melewati mata kaki, dan sebagainya.

11. Berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya.

MUTIARA HADITS SHAHIH

Hadits Abu Ayyub Al-Anshari :

[sc_typo_arabic type=”regular” textalign=”right”] مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَهْرِ[/sc_typo_arabic]

“Barangsiapa yang bershaum Ramadhan kemudian melanjutkannya dengan shaum 6 hari Syawwal, maka dia seperti bershaum selama satu tahun penuh.” (H.R Muslim)

Terbaru

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button