Manhaj

Sikap yang Benar terhadap Perbedaan ‘Ulama dalam al-Jarh wa at-Ta’dil

Sikap yang Benar terhadap Perbedaan ‘Ulama dalam al-Jarh wa at-Ta’dil

Asy-Syaikh al-‘Allamah al-Walid ‘Ubaid al-Jabiri hafizhahullah

Pertanyaan : Apabila aku mendengar perkataan seorang ‘ulama, baik dari kaset atau aku membaca dari kitab,  tentang seseorang bahwa dia adalah mubtadi’, namun aku tidak melihat adanya bukti untuk vonis tersebut. Apakah harus atasku untuk juga mentahdzir dari orang tersebut dan aku mencukupkan diri (dengan vonis dari ‘ulama tersebut) bahwa orang itu sebagai mubtadi’, atau aku menahan diri dulu sampai aku mendapati adanya bukti untuk vonis tersebut?

Jawab :

Sesungguhnya Ahlus Sunnah tidaklah menghukumi/memvonis seseorang sebagai ahlul bid’ah kecuali mereka telah mengetahui dan mengukurnya dengan sebenar-benarnya, serta setelah mereka mengetahui manhaj orang tersebut dengan sebenar-benarnya, baik secara global maupun secara rinci.

Dari sini, masalah ini ada dua pembahasan penting :

Pertama : Tentang seseorang yang telah dihukumi sebagai ahlul bid’ah oleh seorang ‘alim atau ‘ulama, dan tidak ada dari kalangan ‘ulama ahlus sunnah lainnya yang menyelisihi/berbeda pendapat dalam vonis tersebut.

Perhatikan, aku katakan : tidak ada dari kalangan ‘ulama ahlus sunnah lainnya yang menyelisihi/berbeda pendapat dalam vonis tersebut.

Maka kita menerima jarh para ‘ulama tersebut terhadap orang itu. Kita menerima vonis para ‘ulama tersebut dan kita pun mentahdzir orang tersebut. Selama orang itu dijarh dan dihukumi oleh seorang ‘alim sunni. Sementara tidak tampak dari ‘ulama ahlus sunnah lainnya – yang mereka itu sejawat dengan ‘alim tersebut – (adanya perbedaan), maka harus kita terima.

Karena sang ‘alim sunni tersebut, apabila men-jarh seseorang, maka tidaklah dia men-jarh kecuali berdasarkan data yang jelas dan ada bukti-buktinya. Karena permasalahan ini termasuk bagian dari agama Allah. Seorang yang men-jarh atau men-ta’dil hendaknya dia tahu bahwa dia akan dimintai pertanggungjawaban dari apa yang telah dia katakan dan dia fatwakan atau dia voniskan. Hendaknya dia tahu, bahwa dia akan ditanya oleh Allah sebelum dia ditanya oleh makhluk.  

Kedua, Apabila seseorang dihukumi oleh seorang ‘alim atau ‘ulama dengan hukum yang menjatuhkannya, dan mengharuskan dia ditahdzir, namun ada ‘ulama lain yang menyelisihi/berbeda pendapat. ‘Ulama lain tersebut memberikan ta’dil dan menyatakan orang tersebut di atas sunnah, atau hukum lainnya yang berbeda dengan ‘ulama yang men-jarh orang tersebut.

Selama mereka (‘ulama yang men­jarh) itu di atas sunnah, demikian pula mereka (‘ulama yang men-ta’dil) juga di atas sunnah, berarti mereka semua adalah orang-orang yang tsiqah, dan orang-orang yang amanah.

Maka dalam kondisi seperti ini kita melihat kepada dalil (bukti). Oleh karena itu para ‘ulama menyatakan (sebuah kaidah) : “Orang yang mengetahui (bukti/keterangan/data) adalah hujjah terhadap orang yang belum mengetahui.”

‘Ulama yang men-jarh telah menyatakan, bahwa si fulan mubtadi’ dan perbuatannya menyimpang. Kemudian ‘ulama tersebut mendatangkan bukti-bukti dari kitab-kitab orang itu sendiri, atau dari kaset-kasetnya, atau berita tentang orang tersebut dari pihak yang tsiqah (terpercaya). Maka, hal ini mengharuskan kita untuk menerima penilaian (jarh) ‘ulama tersebut dan meninggalkan penilaian ‘ulama yang men­-ta’dil orang tersebut, yang berbeda pendapat dengan ‘ulama yang men­-jarh.

Karena ‘ulama yang men-jarh tersebut telah mendatangkan bukti-bukti, yang bukti-bukti tersebut tidak diketahui oleh ‘ulama lainnya (yang men-ta’dil) karena sebab –sebab tertentu. Atau ‘ulama yang men-ta’dil tersebut belum mendengar atau belum membaca dari ‘ulama men-jarh tersebut. Ta’dil tersebut tersebut ditegakkan di atas informasi yang telah lalu (sudah dulu) bahwa orang tersebut dulunya di atas sunnah.

Maka, dengan adanya bukti-bukti kenapa seseorang di-jarh, berarti orang tersebut telah majruh (jatuh vonis sebagai ahlul bid’ah), dan kebenaran dalam hal ini bersama ‘ulama yang telah mendatangkan bukti-bukti tersebut. Bagi orang yang menginginkan al-haq, maka hendaknya dia mengikuti dalil (bukti-bukti) tersebut. Janganlah dia mencari-cari cela (alasan) di jalan, ke kiri atau pun ke kanan, atau mengatakan “aku akan bersikap sendiri”. Ini tidak ada dalam manhaj salaf. Permasalahan ini menjadi termasuk dalam sesuatu yang tidak boleh padanya adanya ijtihad dalam perkara prinsip-prinsip aqidah dan prinsip-prinsip ibadah. Karena hasil akhir, berupa menerima penilaian dari ‘ulama yang menegakkan bukti, merupakan KEWAJIBAN YANG PASTI.  

Adapun ‘ulama sunnah yang menyelisihi (memiliki penilaian berbeda) dengan ‘ulama sunnah yang men-jarh, maka beliau memiliki ‘udzur, dan beliau tetap pada kedudukan dan kehormatannya. Kita tetap merasakan insya Allah bahwa beliau sebagai ‘ulama yang lebih utama dan memiliki kedudukan yang mulia. Ini-lah batas kemampuan beliau.

Seorang ‘alim ahlus sunnah, tetaplah dia sebagai manusia biasa, bisa lupa, ada kemungkinan menjadi sasaran talbis (pemalsuan) oleh orang-orang dekatnya yang jelek. Atau mungkin beliau terlanjur percaya dengan orang tersebut (yang telah di-jarh,pen) sehingga orang tersebut pun berhasil mentalbisnya. Contoh dalam hal ini sangat banyak. Berapa banyak orang-orang yang telah jatuh (karena telah di-jarh oleh ‘ulama), yang mereka pada hakekatnya memerangi Sunnah dan Ahlus Sunnah, namun mereka mendatangkan contoh-contoh kitab-kitab karyanya dan membacakannya kepada para ‘ulama yang mulia, yang dipersaksikan memiliki keutamaan dan amanah pada agamanya. Namun orang tersebut, si la’aab dan makir ini, menyembunyikan dari sang ‘ulama besar imam dan tokoh besar itu, “sesuatu” yang seandainya sesuatu itu diketahui oleh sang ‘alim tadi  niscaya dia akan jatuh di hadapan sang ‘alim. Akhirnya sang ‘alim itu pun mentazkiyyah orang tersebut berdasarkan dari apa yang telah beliau dengar. Ketika kitab orang tadi telah dicetak, tersebar, dan sudah berada di tangan (pembaca), dan sudah naik reputasinya, maka para mujadil (pembelanya) mengatakan, “dia telah ditazkiyyah oleh fulan, al-Albani rahimahullah , atau Ibn Baz rahimahullah , atau Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah telah mentazkiyyah kitab tersebut.”  

Maka para ‘ulama tersebut ma’dzurun (diberi ‘udzur), selamat dari celaan insya Allah di dunia dan akhirat.

Namun si la’aab ini telah menyembunyikan dan mentalbis (berpenampilan palsu) terhadap sang ‘alim tersebut.

Jika demikian, apa yang harus dilakukan? Yang harus dilakukan adalah menegakkan bukti-bukti terhadap si mulabbis (orang yang berpenampilan palsu) tersebut, la’ab, dan makir tersebut dari kitab-kitab dia langsung. Menegakkan bukti-bukti (yang diambil) dari kitab-kitab dia. Jika ada yang mendebat, maka kita katakan padanya :” silakan lihat sendiri, ini perkataan dia sendiri.”

Apakah kamu mengira, kalau dia menunjukkan kepada para ‘ulama yang kita sebut nama-namanya tadi dengan gambaran yang benar seperti ini, apakah para ‘ulama tersebut akan menyetujuinya? Sekali-kali tidak!!

Maka wajib atasmu, untuk menjadi seorang yang adil sportif (munshif), bersih dari perasaan dan hawa nafwu yang membutakan (hati). Wajib pula atasmu, hendak yang kamu inginkan/cari adalah al-Haq.

Pertanyaan : Apa kewajiban atas awam salafiyyin terhadap para du’at yang para ‘ulama berbeda pendapat dalam menta’dil atau menjarh mereka, baik awam salafiyyin tersebut tahu kesalahan-kesalahan mereka atau tidak mengetahuinya?

Jawab :

Aku katakan kepada segenap Salafiyyin dan Salafiyyat yang sampai kepada mereka ucapanku ini, aku katakan : apabila kalian mencintai orang-orang yang menasehati kalian, maka jangan kalian menerima satu kasetpun, atau kitab apapun kecuali hanya dari orang yang kalian kenal bahwa dia berada di atas Sunnah, dipersaksikan dengan itu, serta dia dikenal dengan itu. Tidak tampak darinya sesuatu yang menyelisihi prinsip tersebut (sunnah). Ini adalah kaidah umum yang berlaku dalam hidupnya dan setelah matinya. Maka barangsiapa yang meninggal dalam kondisi – dalam perkiraan kuat kita –  di atas Sunnah, maka dia di atas Sunnah di sisi kita.  Kita memohon kepada Allah agar mengokohkannya di atas Sunnah di akhirat sebagaimana Allah telah mengokohkannya di atasnya ketika dunia. … Amin. Ini yang PERTAMA.

KEDUA : Apabila kamu tidak tahu tentang kondisi seseorang, yang kitab-kitab dan kaset-kaset orang tersebut sudah terkenal, serta tersebar luas reputasinya. Maka bertanyalah kamu tentang kondisi orang tersebut kepada orang (‘ulama) yang memiliki pengetahuan dan pengamalan tentangnya, serta mengenal kondisinya.

Karena sesungguhnya Sunnah itu tidaklah tersembunyi, demikian pula para pengusungnya (ahlus sunnah) tidaklah tersembunyi. Seseorang itu akan ditazkiyyah oleh amalannya. Amalan-amalannya yang di atas sunnah itulah yang akan mentazkiyyah dia, mempersaksikan dia bahwa dia atas Sunnah, dan umat manusia akan menyebut dia dengan Sunnah tersebut, baik ketika dia masih hidup maupun setelah dia meninggal.

Maka tidaklah seseorang bertabirkan diri (bersembunyi di balik) tirai Sunnah, membuat umat terpesona dengan dirinya, sehingga banyak manusia yang berkumpul di sekitarnya dan memiliki hubungan kuat dengannya, sehingga mereka pun menjadikan dia sebagai sandaran (rujukan), serta mau menerima semua yang berasal darinya, kecuali pasti akan dibongkar, disingkap, dan diungkap oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala  – baik di hadapan orang khusus maupun di hadapan umum – apa yang selama ini dia sembunyikan dan ia tutupi, berupa penipuan, kepalsuan, makar, dan tipu daya. Pasti akan Allah siapkan tokoh-tokoh yang utama, cerdas, bijak, kritikus, yang memiliki ilmu dan fiqh Agama, yang dengan mereka Allah singkap tabir para orang-orang yang la’ab, pemalsu, dan penipu tersebut.

Jadi apabila telah dijelaskan tentang kondisi orang tersebut, yang telah terkenal reputasinya, memenuhi segera penjuru, dan sudah dipandang, serta ditunjuk oleh jari jemari (yakni dia dianggap sebagai rujukan umat, dianggap sebagai ‘ulama, pen), maka kewajibanmu adalah waspada darinya. Apabila orang tersebut telah ditahdzir oleh ahlul ilmi dan iman, yang berjalan di atas sunnah, maka sungguh ‘ulama tersebut menyingkap kondisi orang tersebut kepadamu berdasarkan dalil (bukti-bukti). Tidak mengapa kamu bertanya tentang kondisi orang yang telah ditahzir oleh ‘alim atau ‘ulama tersebut, dengan adab dan uslub yang baik. Maka sang ‘alim tersebut akan mengatakan kepadamu, “Aku melihat pada orang tersebut demikian, aku melihat pada kitab ini dan itu demikian, dan pada kaset ini demikian. “

Itu adalah bukti-bukti yang jelas, yang menyingkap apa yang selama ini dia sembunyikan. Orang tersebut, yang reputasinya sudah memenuhi ufuk, dan sudah banyak menjadi perbincangan, ternyata dia menyembunyikan kebid’ahan dan makarnya, berbeda dengan sunnah yang selama ini ia tampakkan.

KETIGA : Barangsiapa yang telah mengetahui suatu kesalahan, dan telah jelas baginya (kesalahan tersebut ), maka tidak boleh baginya untuk bertaqlid pada seorang ‘alim yang masih tersamar padanya permasalahan tersebut. Telah aku sampaikan kemarin, bahwa ijtihad-ijtihad ‘ulama itu tidak maksum. Oleh karenanya, tidak boleh dijadikan sebagai manhaj.    

Sumber http://www.sahab.net/forums/?showtopic=128806

Terbaru

Satu komentar

  1. جزاكم الله خيرا وفيكم بارك الله
    ya Syaikh, ini sekaligus bantahan untuk “La Yulzimuni”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca juga
Close
Back to top button