Nasehat

Al-Haq Diterima Meskipun dari Majhul (2)

بسم الله الرحمن الرحيم

تنوير العقول بتكميل وتدعيم “إرشاد الفحول

Kesejukan Air Mengalir

Bahwa Al-Haq Diterima Meskipun dari Orang Majhul dan Kafir

(2)

Oleh Asy-Syaikh Abul ‘Abbas Yasin bin ‘Ali Al-Hausyabi Al-‘Adani hafizhahullah

Alih Bahasa : Abu Mahfuzh Ali bin Imran bin Ali bin Adam Al-Andunisy

الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله تعالى من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا، من يهد الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا اله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمداً عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وسلم.

أما بعد:

Pada tulisan sebelumnya, telah saya kumpulkan beberapa dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman para pemimpin ummat ini dari kalangan Ulama’, yaitu tentang permasalahan “menerima kebenaran dari siapapun yang membawanya” . Ahlus Sunnah – jazahumullah khairan – menerima kaidah ini, hal itu karena permasalahan ini ditopang oleh dalil-dalil yang kuat dan jelas. Dan memang demikian lah  keadaan Ahlus Sunnah.

Kemudian terlintas dalam benak saya untuk menguatkan penjelasan-penjelasan saya pada pembahasan yang telah lalu agar tidak terjadi salah faham (walau sebenarnya banyak dari kalangan Ahlus sunnah yang telah membacanya dan mereka terkagum serta memuji tulisan itu, walhamdulillah) dengan beberapa untaian kalimat yang telah tertulis, sementara yang wajib adalah menjelaskan kesamaran kalimat yang dikhawatirkan orang awam akan tertipu dengannya, baik itu karena kecerobohan atau karena pemahaman yang jelek. Maka Ahlus Sunnah adalah orang yang paling menyayangi dan mengasihi manusia secara umum, serta paling bersemangat untuk memberikan hidayah kepada semua manusia dari pada diri mereka (manusia itu) sendiri.

Penguatan atas tulisan yang telalh lalu saya bagi menjadi beberapa poin.

1. Perbedaan antara “menerima kebenaran” dari Ahlil Bida’ dengan “menerima ilmu/belajar di sisi mereka

Adapun kami –- segala puji bagi hanya milik Allah, dan seperti yang telah diketahui oleh saudara-saudara kami – kami tidak pernah menasehatkan seorang pun untuk belajar di sisi ahli bida’.  Akan tetapi di sana ada perbedaan antara “menerima kebenaran” dari ahli bida’ dengan “menerima ilmu/belajar di sisi mereka”.

Berkata Syaikh Al-‘Utsaimin –semoga Allah merahmati beliau- : “Yang dinyatakan oleh Syaikhul Islam inilah yang benar, yaitu kamu menerima kebenaran dari kelompok manapun juga, apakah itu dari kelompok tashawwuf, kalangan fuqaha atau ulama’ syari’ah. Adapun jika kita mengatakan : “Kita tidak akan menerima apapun dari mereka dan semua yang mereka bawa adalah kesalahan” maka ucapan ini tidak benar, Al-Imam Ahmad –semoga Allah merahmati beliau- pernah duduk di sisi ahli tashawwuf agar hati beliau menjadi lembut, dengan kata lain, mereka memiliki pelembut hati dan menjauhkan diri dari dunia yang tidak dimiliki oleh kelompok lain, maka jangan sampai terlalu berlebihan dan jangan pula terlalu kaku. Ambillah kebenaran itu dari siapapun yang membawanya. Apakah dari ahli tashawwuf, ahli fiqh atau yang lainnya. Dan perbandingan mereka adalah seperti Yahudi dan Nashoro, bahwa Ulama syari’ah memangdang ahli tashawwuf tidak memiliki apa-apa, sebaliknya ahli tashawwuf memandang ulama’ syari’ah tidak memiliki apa-apa.

Adapun belajar di sisi mereka –ya’ni ahli tashawwuf- akan menyebabkan mereka bangga dan merasa berada di atas kebenaran sehingga menyebabkan mereka terus berada di atas kesesatannya, juga hal itu bisa menipu orang yang lain dengan berkata : “lihatlah si fulan (ahlus sunnah) dia duduk bersama fulan (tashawuf), dan fulan (ahlus sunnah) belajar di sisi fulan (tashawuf) …”

Adapun menerima kebenaran, maka terimalah kebenaran itu dari siapapun yang membawanya, sekalipun dia seorang Yahudi atau Nashara, bahkan sekalipun dari Syaithon”.

Usai penukilan ucapan Syaikh Al-‘Utsaimin sesuai dengan huruf, ma’na, dan lafadznya (yakni sudah kami terjemahkan).

Inilah penjelasan para ‘Ulama, ambillah pasti kamu akan beruntung.

Peringatan :

Ahli tashawwuf masa kini. tidaklah sama degan ahli tashawwuf yang disebutkan oleh Syaikh Al-‘Utsaimin. Karena ahli Tashawwuf pada masa kita ini mereka memiliki penyimpangan dan kesesatan yang banyak sekali, bahkan tak jarang kamu dapati pada masa ini adanya seorang yang mengaku dari ahli tashawwuf namun dia adalah orang yang paling serakah terhadap dunia, berapa banyak harta yang telah mereka makan dengan mengatas namakan agama? Terlebih mereka-mereka yang menjadi juru kunci kuburan dan tempat-tempat keramat.

2. Jika kebenaran itu hanya terdapat dalam Al-Kitab dan As-Sunnah mengapa kita harus menerimanya dari ahlil bathil?? Bukankah selayaknya kita mengambil kebenaran itu hanya terbatas pada Al-Kitab dan As-Sunnah saja??

Jawab :

Jika kamu ditanya oleh seorang yang awam : “Seorang Yahudi berkata kepadaku: “Sesungguhnya Allah itu di langit. Apakah ucapan Yahudi itu benar ataukah salah?”

Tidak diragukan lagi bahwa semua orang yang berakal akan mengatakan bahwa ucapan si Yahudi itu benar.

Bila demikian, kamu menerima ucapan Yahudi tadi adalah karena sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah.

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam “Fatawa Al-Haram Al-Makki” 1420 kaset II side B berkata ketika beliau menjelaskan permasalahan ini : “Hal itu kita lakukan karena kita menerima kebenaran demi kebenaran itu sendiri”

Bukti terbaik dalam masalah di atas adalah apa yang dilakukan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau menerima ucapan seorang Yahudi –sebagaimana telah lewat penyebutannya pada pembahasan pertama dalam Irsyadul Fuhul [1] silahkan lihat kembali,  ketika itu Rasulullah tidak lantas berkata : “Mereka adalah orang kafir, ucapan mereka salah, dan tidak kita terima.”

Para pembaca sekalian, mari bersama kita perhatikan hadits ‘Abdillah bin Mas’ud ini : Ada seorang Pendeta Yahudi mendatangi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata: “Wahai Muhammad atau Wahai Abul Qosim, sesungguhnya pada Hari Kiamat nanti Allah Ta’ala akan memegang langit dengan jari-Nya, gunung-gunung dan pepohonan dengan jari-Nya yang lain, air dan embun dengan jari-Nya yang lain lagi, serta semua makhluk juga dengan jari-Nya yang lain pula, kemudian Dia menggoncangkannya dan berkata : “Aku lah Raja, Aku lah Raja.” Mendengar itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tertawa karena kagum dengan ucapan si Yahudi tadi serta membenarkanya seraya beliau membaca ayat :

وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ

Mereka tidaklah mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya Padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Ku pada Hari Kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan. (Az-Zumar : 67)

Berkata Al-Imam An-Nawawi –semoga Allah merahmati beliau- “Hadits itu menunjukkan bahwa tertawanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam itu adalah karena beliau membenarkan apa yang telah di ucapkan oleh si yahudi tersebut, terbukti dengan beliau membaca ayat yang menunjukkan benarnya apa yang telah di ucapkan oleh si Yahudi itu.”

Bukanlah landasan kita menolak suatu ucapan hanya disebabkan yang mengucapkannya adalah seorang yang menyelisihi kebenaran atau seorang mubtadi’, kita menolaknya karena apa yang dia ucapkan itu adalah suatu kesesatan.

Syaikhul Islam berkata dalam kitabnya “Dar’ut Ta’arudh (I/120) :

Sisi ke-17 : “Orang-orang yang menolak Al-Kitab dan As-Sunnah dengan sesuatu yang mereka istilahkan sebagai akal, baik dari kalangan ahlul kalam, para filosof, dan orang-orang yang sejalan dengannya, mereka semua menegakkan pemikiran mereka dengan ucapan-ucapan yang masih samar dan global, yang mengandung lebih dari satu makna, sehingga terjadi kerancauan padanya dan tercampur-adukkan antara makna yang haq dan yang bathil, adapun jika kebenaran maka diterima … Inilah pangkal kesesatan orang-orang yang telah tersesat dari kalangan umat sebelum kita. Dan inilah pangkal kebid’ahan dalam agama, karena kebid’ahan kalau seandainya murni kebatilan maka akan tampak dan terlihat oleh manusia bahwa itu adalah kebid’ahan dan tidak akan diterima, atau sebaliknya kalau seandainya murni kebenaran tidak ada kerancuan padanya maka berarti sesuai dengan sunnah. Karena sunnah tidak akan bertentangan dengan kebenaran murni yang tidak ada kebatilan padanya. Namun kebid’ahan mencampur antara kebenaran dan kebathilan, dan hal ini telah kami jelaskan dengan tuntas di tempat lain.”

3. “Menerima Berita” lebih umum dari pada “Menerima Kebenaran”

Berita adalah merupakan kata yang memiliki cakupan makna yang sangat luas, masuk di dalamnya berita yang benar dan berita yang salah. Apabila engkau memperhatikan tulisanku secara seksama maka engkau akan memahami mana di antara dua kalimat di atas yang saya maksudkan. [2] Maka perhatikan kembali tulisan saya yang telah lalu, akan kamu dapatkan kepuasan di sana Insya Allah.

4. Beda antara “Menerima kebenaran” dari orang yang majhul dengan “Menerima riwayat/berita yang dibawanya.”

Dari penjelasan yang lalu diketahui bahwa ketika kita menerima kebenaran dari orang yang majhul … hanyalah  kita menerimanya karena apa yang disampaikannya itu memang sesuai dengan al-Haq itu sendiri. Tidaklah kita menerimanya karena kita mentazkiyyah/merekomendasi orangnya, karena dia tetap di atas kondisinya (yakni tetap majhul).

Adapun tentang “menerima berita yang dibawanya” maka perlu dua hal berikut :

a-    Melihat jenis kemajhulannya

b-    Meneliti berita yang dibawanya, apakah ada berita-berita yang benar sebagai penguat atas berita yang disampaikannya ataukah tidak.

Jika bentuk kemajhulannya adalah sampai pada tingkatan tidak diketahuinya identitas si pembawa berita, maka berita yang dibawanya otomatis tertolak, sedangkan kita tetap beramal dengan berita shahih yang telah kita ketahui sebelumnya.

Namun kalau kemajhulannya hanya sampai pada tingkatan tidak diketahui tempat tinggal dan keadaannya, maka beritanya tidak diterima sampai ada berita pasti yang menguatkan apa yang disampaikannya. Hal ini adalah perkara yang telah ma’ruf dikalangan ulama’ ahli hadits dan para pakar peneliti sanad hadits.

Dan ini merupakan jawaban bagi mereka-mereka yang masih bertanya-tanya: “jika berita yang dibawa oleh orang kafir dan majhul itu adalah benar, lantas mengapa kita tidak langsung saja mengambil kebenaran tu dari Al-Kitab dan As-Sunnah dan meninggalkan apa yang mereka bawa??

Segala puji hanya milik Allah, dan semoga sholawat beserta salamku tersampaikan kepada Nabiyullah…


[1] Yang sudah kami terjemahkan dengan judul Kesegaran Air Mengalir bahwa Kebenaran diterima dari Majhul dan Kafir

[2] Yakni yang dimaksudkan penulis adalah “menerima kebenaran”, bukan “menerima berita”.

Terbaru

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button