Nasehat

Kapan Ta’dil Tetap Didahulukan?

Beberapa kondisi Ta’dil global tetap lebih didahulukan daripada Jarh Mufassar

 

Pertama, Apabila sang mu’addil (pemberi ta’dil) telah mengetahui/mendengar pernyataan pemberi jarh mufassar kemudian dia menafikan pernyataan tersebut dengan hujjah dan burhan (bukti).

Seperti kalau sang mu’addil mengatakan, “Aku telah mengetahui sebab kenapa si fulan A [1]) mencela si fulan B, maka aku dapati ternyata sebab tersebut tidak benar, atau tidak menyebabkan si fulan B tadi menjadi tercela.”

Atau sang mu’addil mengatakan, “Sebab tersebut memang benar, namun si fulan B sudah bertaubat dari kesalahannya dan taubatnya bagus.” Atau ucapan semisal itu.

 As-Suyuthi rahimahullah berkata, “Jika terkumpul pada seorang perawi jarh mufassar (celaan rinci yang ditujukan padanya) dan ta’dil (pujian/rekomendasi terhadapnya) maka dalam hal ini jarh lebih dikedepankan (terhadap ta’dil) meskipun pemberi ta’dil berjumlah banyak. Namun para fuhaqa memberi batasan dalam permasalahan tersebut, yaitu apabila sang mu’addil (pemberi ta’dil) tidak mengatakan “Aku telah tahu sebab yang disebutkan oleh pen-jarh, namun dia (perawi/orang yang dijarh) tersebut sudah bertaubat dan kondisinya menjadi baik.” Maka dalam kondisi demikian ta’dil lebih dikedepankan.

 

Kemudian As-Suyuthi  menukilkan dari Ibnu Daqiq Al-‘Id bahwa beliau memberikan pengecualian juga Apabila sang pen-jarh menyebutkan sebab tertentu dan ternyata sebab tersebut dinafikan oleh sang mu’addil dengan cara yang bisa diterima.

 

Aku (penulis) katakan juga, bahwa pengecualian di atas disebutkan pula oleh :

– Al-Balqaini dalam Mahasin Al-Ishthilah hal. 24,

– As-Sakhawi dalam Fath Al-Mughits I/307,

– Ath-Thufi dalam Syarh Mukhtashar Ar-Raudhah II/166

– Az-Zarkasyi dalam Al-Bahr Al-Muhith

– Asy-Syaukani dalam Irsyadul Fuhul (I/334)

 

Penjelasan para muhaqqiqin di atas sangat tepat terhadap ta’dil yang diberikan oleh para masyaikh sunnah hafizhahumullah terhadap Asy-Syaikh ‘Abdurrahman Al-‘Adeni dan penafian para masyaikh tersebut akan adanya hizbiyyah pada diri Asy-Syaikh ‘Abdurrahman [2]) . karena Ta’dil para masyaikh tersebut terhadap Asy-Syaikh ‘Abdurrahman dan  penafiaan para masyaikh atas tuduhan hizbiyyah terhadap Asy-Syaikh ‘Abdurrahman merupakan hasil final dari studi kasus yang dilakukan dengan hati-hati, adil, dan objektif selama kurang lebih  tiga tahun terhadap tuduhan yang dilontarkan oleh Syaikh Al-Hajuri waffaqahullah terhadap Asy-Syaikh ‘Abdurrahman dengan tuduhan hizbiyyah. Hasil studi kasus tersebut adalah bahwa TUDUHAN SYAIKH AL-HAJURI  TERHADAP ASY-SYAIKH ‘ABDURRAHMAN DENGAN TUDUHAN HIZBIYYAH ADALAH TUDUHAN YANG TIDAK ADA LANDASAN KEBENARANNYA. Itu semata-mata karena adanya tendensi-tendensi individual dan adanya kepentingan-kepentingan pribadi yang diatasnamakan Dakwah Salafiyyah.

 

Maka pahamilah dengan baik hal itu, dan janganlah membantah nasehat para ‘ulama yang menganjurkan untuk merujuk kepada mereka (para ‘ulama) dalam menghadapi peristiwa-peristiwa nawazil dan rumit.

 

 

(bersambung, Insya Allah)

 


[1] Yang mana si fulan A ini adalah pemberi jarh mufassar. Dia menjarh si fulan B dengan jarh  mufassar.

[2] Yakni para masyaikh telah memberikan ta’dil terhadap Asy-Syaikh ‘Abdurrahman. Kemudian datang Al-Hajuri memberikan jarh dengan “jarh mufassar.” Namun apa yang diklaim sebagai  jarh  mufasar tersebut  telah dinafikan oleh para masyaikh selaku sang pemberi ta’dil.

Terbaru

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca juga
Close
Back to top button