FawaidInfo Taklim

Kisah Muallaf Suku Lauje 2

KELUARGA YANG BANYAK MEMBANTU.

Pertama tiba di pegunungan Solongan untuk berdakwah, belum terbayang di benak kami, di mana kami mau bermalam, bagaimana memasak makanan dan keperluan pribadi lainnya. Mengingat tempat yang masih asing dan di daerah suku terasing yang kami belum tahu bahasa mereka. Ternyata kemudahan demi kemudahan Allah berikan kepada kami. Sungguh benar apa yang Allah ta’ala sebutkan dalam AlQuran :
“Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al-Insyiroh: 6)

Berbagai kemudahan pun datang kemudian. Diantara kemudahan yang Allah berikan adalah tatkala kami dipertemukan dengan Pak Upik dan ayahnya, Pak Tahar. Mereka berasal dari Tinombala, hanya saja sekarang bermukim di dusun Solongan. Pak Upik dan pak Tahar sekeluarga banyak membantu dakwah. Di awal-awal dakwah, mereka berdualah yang menggerakkan warga muallaf untuk bekerja bakti membangun teras panggung di muka rumahnya. Teras panggung tersebut digunakan sebagai tempat shalat dan mengaji untuk sementara,  disamping juga berfungsi sebagai tempat bermalam bagi ikhwah yang datang. Bangunan yang sederhana, berlantai papan, sedangkan atap dan dindingnya dari terpal. Tentu bangunan tersebut tidak mampu menahan hawa dingin udara malam yang amat menusuk di Solongan. Hal itu menyebabkan kami selalu memakai baju hangat di malam hari.

IMG-20140527-WA0013

Setiap kali kami – para da’i Ahlus Sunnah – datang ke Solongan, pak Upik dan pak Tahar banyak membantu keperluan kami. Beliau berdua menjembatani kami dalam berkomunikasi dengan para muallaf. Mengingat kebanyakan mereka belum bisa berbahasa Indonesia. Istri pak Upik juga memasak nasi serta lauknya untuk yang sedang bekerja membangun masjid. Sepulangnya kami ke Poso, pak Upik juga yang melanjutkan mengajar mengaji beberapa anak Lauje setiap malamnya. Sementara istrinya mengajar mengaji anak-anak perempuan. Alhamdulillah, sekitar sepuluh orang anak Lauje belajar mengaji di rumahnya setiap malamnya. Beliau dengan ayahnya, Pak Tahar selalu menepis berbagai isu dusta yang menyudutkan dakwah, yang sengaja disebarkan orang-orang hasad. Pak Tahar dengan penuh kesabaran berusaha meyakinkan para Muallaf, kalau para da’i yang datang dari Poso itu bukanlah orang-orang jahat sebagaimana yang diisukan. Semoga Allah membalas kebaikan kepada keluarga ini.

TA’LIM BERSAMA MUALLAF

Pagi itu matahari terlihat mulai meninggi di atas dusun Solongan. Kami mulai gelisah, jangan-jangan para Muallaf tidak mau hadir memenuhi undangan ta’lim. Mengingat tersebarnya isu-isu dan berita dusta yg disebarkan orang-orang hasad terhadap dakwah kepada para muallaf ini. Berbagai isu dan tuduhan dusta terhadap para da’i Poso sempat menyebabkan beberapa muallaf terpengaruh dan mulai menjauh.

Alhamdulillah, ternyata sekitar jam sepuluh pagi, mulailah bermunculan beberapa warga muallaf tersebut. Tidak lama mereka datang di muka rumah pak Upik.  Para Ibu naik ke rumah dan dipersilakan masuk ke ruang tengah. Sementara para bapak duduk-duduk di panggung serambi muka. Ta’limpun dimulai, salah seorang da’i menyampaikan materi ta’limnya. Materi kajian membahas tentang apa tujuan kita hidup, yaitu untuk beribadah kepada Allah, karena segala amal perbuatan yang kita lakukan semuanya akan diperhitungkan di akhirat nanti.

IMG-20140527-WA0022

IMG-20140527-WA0021

IMG-20140527-WA0015

Selepas ta’lim para muallaf pun bercengkerama sejenak sambil menikmati kopi hangat. Ada di antara mereka yang mengutarakan keinginan untuk tinggal di dekat masjid. Mereka sangat bersyukur dengan adanya masjid di dekat mereka yang memudahkan mereka dalam belajar Islam. Selesai bercengkrama, merekapun berpamitan pulang. Sebelum pulang, mereka mendapatkan bingkisan beras, minyak goreng, ikan asin, gula pasir dan kopi. Dengan muka berseri-seri, akhirnya mereka berpamitan pulang.

PROGRAM PEMUKIMAN MUALLAF DI SEKITAR MASJID.

IMG-20140527-WA0023

Mengingat tempat tinggal para muallaf yang berjauh-jauhan, maka pembinaan terhadap mereka mengalami kendala. Maka demi memudahkan dalam belajar Islam, para muallaf menginginkan untuk bermukim di sekitar masjid.  Setelah didata, jumlah warga muallaf yang berkeinginan tinggal disekitar masjid ada 10 KK.

IMG-20140527-WA0016
Alhamdulillah untuk lokasi pemukiman mereka, sudah dibebaskan lahan seluas 80×50 m2 yang terletak di sebelah masjid.

IMG-20140527-WA0018

IMG-20140527-WA0019IMG-20140527-WA0017

WARGA LUAR MULAI TERTARIK DENGAN DAKWAH.
Ternyata aktivitas dakwah dan pengajian yang dilakukan oleh beberapa Da’i Ahlus Sunnah dari Poso ini mulai terdengar oleh warga di luar dusun Solongan. Di antara mereka ada yang menginginkan untuk tinggal di dekat Masjid juga. Di antara mereka juga ada yang ingin masuk Islam pula.
Menurut penuturan pak Arsyad, ada 5KK warga muallaf Dusun Giyanang yang berjarak sekitar 4 jam berjalan kaki, juga menginginkan untuk tinggal di dekat masjid Muallaf.
Demikian pula Pak Nanihati menuturkan, kalau ada 3 KK tetangganya di Salamayang yang ingin masuk Islam dan mereka ingin tinggal di dekat masjid pula. Jadi sampai saat ini ada sekitar 18 keluarga yang membutuhkan rumah tinggal dekat masjid.

PREDIKSI BIAYA PEMUKIMAN MUALLAF

Bagi kita, mungkin rumah ukuran 3×4 m tergolong sangat kecil, akan tetapi bagi warga Bela rumah seukuran itu mencukupi untuk sebuah keluarga. Untuk pembangunan satu unit rumah panggung ukuran 3x4m  memakan biaya sekitar Rp 6 juta.
Sementara jumlah rumah yang  dibutuhkan adalah 18 unit.
Mengingat biaya yang cukup besar, maka kami masih membuka donasi untuk membantu program pemukiman muallaf.
Pembangunan rumah akan dilaksanakan secara bertahap insya Allah, sesuai ketersediaan dana.

SISI LAIN KONDISI SUKU LAUJE

Gambaran kemiskinan nampak terlukis pada warga terasing suku Lauje. Dari ukuran badan-badan mereka relatif pendek, rata-rata tinggi badan mereka berkisar 150-160cm. Jarang di antara mereka yang memiliki tinggi badan lebih dari 160cm. Kebanyakan postur tubuh mereka juga kurus, wallahu a’lam mungkin disebabkan karena asupan gizi yang kurang. Makanan pokok mereka sehari-hari adalah talas, ubi, singkong atau nasi jagung. Terkadang kalau tanaman padi ladang dipanen, mereka baru makan nasi. Atau ketika ada pembagian beras raskin dari bulog, itupun kalau mereka punya uang. Kalau tidak punya uang, terpaksa mereka tidak bisa menebus beras raskin tersebut.

Lauknya pun seadanya, terkadang makan dengan lauk garam atau cabai rawit. Kalau ada rejeki, baru beli ikan asin sebagai lauk kesukaan mereka. Kebanyakan wanita Lauje belum bisa memasak layaknya ibu rumah tangga pada umumnya. Mereka belum mengenal aneka bumbu dapur. Terkadang ketika waktu makan siang tiba, seorang ibu baru menggali talas yang tumbuh liar di sekeliling kebun. Kemudian mereka kupas dan direbus. Hal ini membuat mereka terlambat makan. Sebagai lauknya adalah daun ubi rebus yang dibubuhi garam.

Adapun sarapan pagi, biasanya tiap anggota keluarga membakar ubi sendiri-sendiri. Pernah seorang teman kami mendapati seorang anak kecil yang berumur 7 tahun-an yang baru bangun tidur. Dia langsung menggali ubi yang tumbuh liar di kebun belakang rumah dengan parang kecilnya. Dia kumpulkan beberapa ubi kecil hasil galiannya. Lalu dia membakarnya di perapian depan rumah yang sudah dinyalakan ibunya sedari tadi. Dia membolak-balik ubi tersebut dengan capitan bambu hingga masak bagus dan merata. Kemudian anak tersebut pun memakan ubi bakarnya sendiri sebagai sarapan paginya. Ubi tersebut betul-betul masak bagus dan tidak gosong sebagian. Memang anak-anak Lauje rata-rata pandai membakar ubi. Itulah gambaran kemandirian anak suku terasing lauje.
Sungguh berbeda dengan anak-anak kita, yang setiap pagi sudah disiapkan sarapan pagi dengan aneka menu oleh orang tuanya.

Kondisi anak-anak balita juga memprihatinkan. Tak jarang ditemui anak balita yang kurus, dengan perut buncit tanda kurang gizi. Ternyata kegiatan posyandu  belum menyentuh mereka, demikian pengakuan sebagian warga Bela.
Pernah salah seorang muallaf yang bernama pak Aji berhalangan menghadiri undangan ta’lim. Ternyata sudah dua hari anaknya yang baru berumur dua pekan itu sakit panas. Sang ibu juga menderita sakit nyeri rahim pasca melahirkan. Ternyata persalinan sang ibu tidak ditangani bidan, tapi ditangani orang tuanya sendiri (ibunya). Memang kebanyakan persalinan wanita Bela itu ditangani orang tua mereka. Maka kami menyarankan untuk membawa ibu dan anak ini ke bidan di kampung. Tapi kondisi ibu yang nyeri rahim tidak memungkinkan dibonceng motor. Akhirnya dengan bantuan seorang ikhwah Parigi, kondisi pasien dikonsultasikan dengan salah satu dokter di kota Parigi via telpon, maka dokter mengirim resep via SMS. Alhamdulillah walaupun sudah menipis stok obat-obatan di gunung, ternyata masih ditemukan obat yang tercantum dalam resep tadi. Biidznillah selang dua hari meminum obat, ibu dan anak tersebut mulai sehat.
Demikianlah sekelumit sisi kehidupan suku terasing Lauje.
Semoga Allah melimpahkan kasih sayang-Nya kepada mereka dan membimbing mereka semua ke jalan yang diridhai-Nya.

Terbaru

Satu komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca juga
Close
Back to top button