FatawaManhaj

Apa Yang Dibutuhkan Oleh Dakwah Salafiyyah?

Judul                      : Apa Yang Dibutuhkan oleh Dakwah Salafiyyah

Asy-Syaikh          : DR. Muhammad bin Hadi

Kategori                : Wasiat dan Nasehat

_________________________________________________________________________________________

Pertanyaan : Apa yang dibutuhkan oleh Dakwah Salafiyyah di Libia sekarang?

————————————————————————————————————————————————————–

Jawab : Demi Allah aku tidak tahu. Kamu yang lebih tahu tentang masalah ini sekarang.

Adapun yang dibutuhkan oleh Dakwah Salafiyyah sekarang di semua tempat, baik di Libia dan lainnya, Dakwah Salafiyyah adalah Islam yang haq, ini yang pertama.

Kedua, Dakwah Salafiyyah butuh kepada ilmu. Fiqh fid Dienillah – Tabaraka wa Ta’ala –

Ketiga, Butuh kepada Hikmah

Keempat, seseorang apabila diberi Hikmah, maka dia telah diberi taufiq – insya Allah – terhadap hal-hal setelahnya, yaitu bisa menentukan/mempertimbangkan mashlahah dan mafsadah. Maka dia bisa mencegah mafsadah dari dakwah ini, mencegah musuh-musuh dari dakwah ini, yaitu dengan ia menempuh cara yang tepat dalam menyelesaikan berbagai problem/permasalahan. Hendaknya ia tahu dan senantiasa dia ingat bahwa tidaklah semua yang diketahui itu bisa diucapkan, demikian pula tidak semua yang tepat untuk diucapkan itu sudah tiba waktunya  atau saatnya, dan tidak semua yang sudah tiba waktunya tepat pula orang-orangnya. Maka wajib atas dia untuk mengetahui/berilmu tentang hal ini dengan ilmu yakin. Kamu sekarang, mungkin menutupi dari sebagian orang beberapa pembicaraan, karena tidak tepat (untuk disampaikan kepada mereka). Kalau kamu sampaikan kepada semua orang, maka akan terjadi sebagaimana yang dikatakan oleh Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib – radhiyallahu ‘anhu – “Akan menyebabkan fitnah pada sebagian mereka.” karena memang pembicaraan itu bukan untuk semua orang, namun tepat hanya untuk sebagaian mereka. Mereka yang berilmu akan bisa menempatkan pembicaraan (yang kamu sampaikan tersebut) pada tempatnya. Namun yang tidak berilmu di antara mereka, maka pembicaraan tersebut (apabila disampaikan) justru akan menjadi fitnah bagi mereka.

Jadi dalam kondisi seperti ini, harus memperhatikan kondisi orang-orang yang diajak bicara, bagaimana kapasitas mereka, ilmu, dan pemahamannya. Maka bisa saja kamu tutupi sesuatu dari mereka, dan akan kamu berikan kepada mereka beberapa waktu kemudian. Kamu sampaikan kepada hadirin yang hadir di majelis ini sekarang, namun tidak kamu sampaikan kepada yang lainnya. Ini merupakan peletakan berbagai urusan sesuai pada tempatnya.

 

Jadi Dakwah ini butuh kepada apa?

Pertama, Ilmu dan Fiqh fi Dienillah

Kedua, Hikmah

Ketiga, menimbang dengan tepat mashlahah dan mafsadah. Kemudian memperhatikan perbedaan orang yang pantas kamu berbicara dan memberikan kepadanya, dan bahwa tidak semua yang diketahui itu bisa disampaikan. Ini di satu sisi

Kemudian yang semestinya Perkara Kelima, hendaknya dia mengendalikan diri dengan tali kendali Jalan yang ditempuh oleh para Salafush Shalih. Kaidah dalam hal ini “Barangsiapa yang hendaknya berteladan, hendaknya dia berteladan kepada orang yang telah mati. Karena orang yang masih hidup tidak selamat dari fitnah.”

Sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ittiba’ itu boleh dilakukan kepada orang mati di atas jalan yang benar.  Allah berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang telah Allah beri hidayah. Maka ikutilah petunjuk mereka.” (al-An’am : 90)

Adapun orang yang hidup, bisa jadi kamu mencintai seseorang dan memujinya, namun janganlah kamu memberikan padanya rekomendansi yang sempurna. Karena manusia yang masih hidup, belum diketahui di atas apa ditutup umurnya. Dan kamu melihat sendir, berapa banyak, berapa banyak, … al-Maghrawi kemana dia berujung? Abul Hasan ke mana dia berujung? ‘Ali Hasan al-Halabi ke mana dia berujung? Bahkan dia sekarang bersama dengan para pengusung demokrasi pada akhir urusannya. Sekarang juga, al-Hajuri ke mana berujung? Berujung bersama mereka, kini mereka menziarahi dia. (yakni)  Abul Hasan, ‘Ali Hasan, dan mereka (menziarah al-Hajuri).

Orang yang masih hidup, tidak aman dari fitnah. Al-Imam Ahmad – rahimahullah wa radhiyallahu ‘anhu – meriwayatkan dalam Musnad-nya Hadits al-Miqdad bin al-Aswad dengan sanadnya, bahwa dia dikatakan – yakni diperbincangkan – maka dia menjawab, “Aku tidak berbicara tentang seseorang setelah adanya sebuah hadits yang aku dengar dari Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai dia meninggal.” Maka ditanyakan kepadanya, ‘Hadits apakah yang kamu dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?” Miqdad menjawab, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh hati anak Adam itu lebih kuat berbolak-balik daripada periuk yang berisi air mendidih.”  Apabila sudah mendidih, bagaimana gerakan dan bolak-baliknya? Sekejap mata bisa puluhan kali. Al-Miqdad mengatakan, Aku tidak memberikan persaksian tentang seseorang sedikitpun sampai dia mati.

Jadi seorang dalam berteladan dan meniru sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah dengan orang yang sudah wafat di atas hidayah. Adapun orang yang masih hidup, maka dia bisa diharapkan untuknya, atau bisa juga dikhawatirkan terhadapnya, dia tidak aman dari fitnah. Oleh karena itu, kita diperintah untuk berdo’a :

“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau simpangkan hati kami setelah Engkau beri petunjuk kami.”

Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala keteguhan/kekohohan.

Hal ini, padanya terdapat bantahan terhadap orang yang mengatakan, “Orang yang kokoh di atas Salafiyyah tidak mungkin menyimpang.” Omong kosong apa ini? Mungkin dia untuk menyimpang, bahkan menyimpang dari Islam secara total dan murtad. Kalau tidak demikian, apa makna firman Allah, “Wahai Rabb kami, janganlah Engkau simpangkan hati kami setelah Engkau beri petunjuk kami.”

Dan apa juga makna do’a Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Wahai Yang membolak-balikkan hati, kokohkanlah hatiku di atas agamamu.”

Beliau adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengajarkan kepada kita doa tersebut.

Maka seseorang yang semestinya dia lakukan dalam permasalahan ini adalah memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala keteguhan, tidak mengingikuti kecuali jejak orang yang sudah mati di atas iman, hidayah, dan jalan yang haq, serta taqwa. Mencintai orang yang masih hidup karena kebaikan yang ada padanya, menghormati, dan mengedepankannya, serta memuliakan orang yang memang pantas mendapatkan pemuliaan tersebut. Namun jangan memberikan tazkiyah (rekomendasi) yang sempurna.

Kita memohon kepada Allah agar mengokokoh/meneguhkan kita dan antum semua.

 

sumber http://ar.miraath.net/fatwah/7696 

 

Terbaru

2 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button