Fiqih

Bimbingan Ringkas Tentang Hukum-Hukum Jenazah Dan Hal-Hal Yang Terkait Dengannya

BIMBINGAN RINGKAS tentang HUKUM-HUKUM JENAZAH dan hal-hal yang terkait dengannya

[ dari “Talkhish Ahkam al-Janaiz” karya asy-Syaikh al-Albani rahimahullah ]

Bismillahirrahmanirrahim

KEWAJIBAN BAGI ORANG SAKIT

Orang yang sakit wajib untuk senantiasa merasa ridha dan menerima segala ketentuan maupun ketetapan Allah.
Ia juga wajib untuk bersabar atas takdir-Nya serta berbaik sangka kepada Rabb-nya. Hal ini lebih baik baginya.
Ya, sebuah kebaikan baginya. Bukankah Rasulullah telah bersabda:

عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

Sungguh menakjubkan dan mengagumkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya segala urusannya merupakan kebaikan baginya. Tidaklah yang demikian didapati pada seorangpun melainkan pada seorang mukmin saja. Yaitu, jika seorang mukmin mendapatkan kebahagiaan maka ia bersyukur. Yang demikian merupakan kebaikan baginya. Bila ia dirundung sebuah kesengsaraan (kesulitan) dia akan bersabar. Tentu yang demikian juga kebaikan baginya.” (HR. Muslim 4/2999 dari shahabat Shuhaib bin Sinan)

Juga berdasarkan sabda beliau:

لَا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللهِ الظَّنَّ

Jangan sekali-kali salah seorang di antara kalian meninggal dunia melainkan ia berbaik sangka kepada Allah.” (HR. Muslim 4/2877 dari shahabat Jabir)

Orang yang sakit hendaknya berada di antara khauf (perasaan takut) dan raja’ (rasa harap).
Hendaknya ia merasa TAKUT terhadap siksa dan hukuman Allah atas berbagai dosanya, dan ia BERHARAP akan rahmat dan kasih sayang Rabb-nya.

Hal ini berdasarkan hadits Anas bin Malik yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan selainnya. Dikisahkan bahwa suatu ketika Nabi menemui seorang pemuda yang sedang sakaratul maut. “Bagaimana keadaan dirimu?” Tanya Nabi. “Demi Allah, wahai Rasulullah, sungguh aku berharap kepada Allah (rahmat dan ampunan-Nya) dan sungguh pula aku takut akan dosa-dosaku.” Jawab pemuda tersebut.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda:

لَا يَجْتَمِعَانِ فِي قَلْبِ عَبْدٍ فِي مِثْلِ هَذَا المَوْطِنِ إِلَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ مَا يَرْجُو وَآمَنَهُ مِمَّا يَخَافُ

Tidaklah dua perasaan tersebut (rasa harap dan takut) berkumpul pada diri seorang hamba pada saat seperti ini melainkan Allah akan memberi apa yang dia harap dan akan memberi keamanan dari yang ditakutinya.”
(HR at-Tirmidzi 3/983) dan ibnu Majah (2/4261)dari Anas bin Malik. Lihat pula al-Misykah (1612)

TIDAK BOLEH berangan-angan untuk mati, seberat dan separah apapun penyakit yang dideritanya.
Kalaupun terpaksa melakukannya maka hendaknya ia mengucapkan:

اللَّهُمَّ أَحْيِنِيْ مَا كَانَتِ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِيْ وَتَوَفِّنِيْ إِذَا كَانَتِ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِيْ

“Ya Allah, hidupkanlah diriku selama kehidupan lebih baik bagiku. Dan matikanlah diriku jika kematian itu lebih baik bagiku.”
(HR. Al-Bukhari (5671 dan 6351) dan Muslim (2680) dari shahabat Anas bin Malik)

Jika ia masih memiliki tanggungan-tanggungan dan kewajiban maka hendaknya ia menunaikannya kepada pemiliknya dan kepada yang berhak. Tentunya jika hal ini mudah dan mampu ia lakukan. Jika tidak demikian maka hendaknya ia berwasiat kepada keluarganya. Hal ini berdasarkan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wasiat tersebut pun harus segera disampaikan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُوصِي فِيهِ، يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ

Tidak pantas bagi seorang muslim yang memiliki sesuatu untuk diwasiatkan sampai berlalu dua malam melainkan wasiat tersebut sudah tertulis di sisinya.”

Ibnu ‘Umar berkata: “Tidaklah berlalu satu malam sejak aku mendengar Rasulullah mengatakan ucapan itu melainkan wasiatku telah aku tulis.” (HR al Bukhari (4/2738) dan Muslim (3/1627), dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar.)

Wajib baginya untuk memberikan wasiat kepada kerabat yang tidak mendapatkan warisan darinya.
Hal ini berdasarkan firman Allah:

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْراً الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقّاً عَلَى الْمُتَّقِينَ

Diwajibkan atas kalian, apabila seorang di antara kalian kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf. (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (Al Baqarah 180)

Boleh baginya untuk berwasiat dengan sepertiga hartanya dan tidak lebih dari itu. Bahkan yang lebih utama dan lebih afdhal agar wasiat tersebut kurang dari sepertiga. Hal ini berdasarkan hadits Sa’d bin Abi Waqqash yang disebutkan dalam Ash-Shahihain. Ia mengatakan: Suatu ketika aku bersama Rasulullah dalam haji Wada’. Aku pun jatuh sakit yang mendekati kematian. Beliau pun kemudian menjengukku.

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ini memiliki harta yang sangat banyak. Akan tetapi tidak ada yang mewarisiku kecuali satu orang anak perempuanku saja. Apakah boleh bagiku untuk berwasiat dengan duapertiga hartaku?” Tanyaku kepada beliau.
Rasulullah menjawab: “Tidak.”
“Dengan separoh hartaku?”
“Tidak.”
“Kalau begitu dengan sepertiga dari hartaku?”
Maka Rasulullah bersabda:

الثُّلُثُ، وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ، إِنَّكَ يَا سَعْدُ أَنْ تَدَعَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ تَدَعَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ، إِنَّكَ يَا سَعْدُ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللهِ إِلا أُجِرْتَ عَلَيْهَا، حَتَّى اللُّقْمَةَ تَجْعَلُهَا فِي فِي امْرَأَتِكَ

Ya, sepertiga. Sepertiga itupun sudah banyak.” Jawab beliau. Kemudian beliau menambahkan, “Sesungguhnya engkau, wahai Sa’ad, meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kecukupan itu lebih baik bagimu daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin meminta-minta kepada orang dengan tangannya. Wahai Sa’d, tidaklah engkau menafkahkan satu nafkah dalam rangka mencari wajah Allah melainkan engkau akan mendapatkan pahala. Bahkan sampai-sampai suapan yang engkau suapkan ke dalam mulut istrimu.”
Sa’d berkata: “Maka setelah itu sepertiga boleh.”
Muttafaqun ‘alaihi

Juga berdasarkan ucapan Ibnu ‘Abbas: “Aku sangat senang apabila orang-orang menurunkan wasiat mereka dari sepertiga menjadi seperempat, sebab nabi telah bersabda: “Sepertiga itu sudah banyak.”
(HR Ahmad (1524))

Hendaknya ketika ia berwasiat disaksikan oleh dua orang muslim laki-laki yang adil.

Kalau tidak didapatkan dua orang muslim yang jujur maka bisa dengan dua orang yang jujur dari kalangan non muslim, dan diminta agar keduanya bersumpah untuk bisa dipercaya apabila persaksian keduanya diragukan.

Hal ini sesuai dengan keterangan di dalam firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا شَهَادَةُ بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ حِينَ الْوَصِيَّةِ اثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ أَوْ آخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ إِنْ أَنْتُمْ ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَأَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةُ الْمَوْتِ تَحْبِسُونَهُمَا مِنْ بَعْدِ الصَّلاةِ فَيُقْسِمَانِ بِاللَّهِ إِنِ ارْتَبْتُمْ لا نَشْتَرِي بِه ثَمَناً وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَلا نَكْتُمُ شَهَادَةَ اللَّهِ إِنَّا إِذاً لَمِنَ الْآثِمِينَ فَإِنْ عُثِرَ عَلَى أَنَّهُمَا اسْتَحَقَّا إِثْماً1 فَآخَرَانِ يَقُومَانِ مَقَامَهُمَا مِنَ الَّذِينَ اسْتَحَقَّ عَلَيْهِمُ الْأَوْلَيَانِ فَيُقْسِمَانِ بِاللَّهِ لَشَهَادَتُنَا أَحَقُّ مِنْ شَهَادَتِهِمَا وَمَا اعْتَدَيْنَا إِنَّا إِذاً لَمِنَ الظَّالِمِينَ} . ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يَأْتُوا بِالشَّهَادَةِ عَلَى وَجْهِهَا أَوْ يَخَافُوا أَنْ تُرَدَّ أَيْمَانٌ بَعْدَ أَيْمَانِهِمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاسْمَعُوا وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

Wahai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang di antara kalian menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kalian, atau dua orang yang berlainan agama dengan kalian, jika kalian dalam perjalanan di muka bumi lalu kalian ditimpa bahaya kematian. Kalian tahan kedua saksi itu sesudah shalat (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika kalian ragu-ragu: “(Demi Allah) kami tidak akan membeli dengan sumpah ini dengan harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah. Sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa.” Jika diketahui bahwa kedua (saksi itu) membuat dosa, maka dua orang yang lain di antara ahli waris yang berhak yang lebih dekat kepada orang yang meninggal (memajukan tuntutan) untuk menggantikannya, lalu keduanya bersumpah dengan nama Allah: “Sesungguhnya persaksian kami lebih layak diterima daripada persaksian kedua saksi itu, dan kami tidak melanggar batas, sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang yang menganiaya diri sendiri.” Itu lebih dekat untuk (menjadikan para saksi) mengemukakan persaksiannya menurut apa yang sebenarnya, dan (lebih dekat untuk menjadikan mereka) merasa takut akan dikembalikan sumpahnya (kepada ahli waris) sesudah mereka bersumpah. Dan bertakwalah kepada Allah dan dengarkanlah (perintah-Nya). Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (Al Maidah 106~108)

Sedangkan berwasiat untuk memberikan harta kepada orang tua atau kerabat yang mendapatkan warisan (ahli waris) dari orang yang berwasiat maka hal ini TIDAK DIPERBOLEHKAN. Sebab, hukum ini telah dihapus dengan ayat-ayat yang menjelaskan tentang warisan. Demikian pula telah dijelaskan dan diterangkan oleh Rasulullah dengan penjelasan yang paling lengkap dan sempurna dalam sebuah khutbah pada haji wada’. Beliau menyatakan:

إنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ

“Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada yang berhak. Oleh karena itu TIDAK ADA WASIAT UNTUK AHLI WARIS.” (HR. Abu Dawud (2870 dan 3565) dan Ibnu Majah (271) dari shahabat Abu Umamah al-Bahili; at-Tirmidzi (2121) dan an-Nasaa’i (3641 dan 3643) dari shahabat Amr bin Kharijah; serta Ibnu Majah (2714) dari shahabat Anas bin Malik, lihat Shahihul Jami’ (1788 dan 1789) dan Al-Irwa’ (1413 dan 1655)).

DIHARAMKAN memberikan efek mudharat dalam WASIAT tersebut. Misalnya:
berwasiat agar sebagian ahli waris TIDAK MENDAPATKAN bagian dari hak warisnya, atau dengan MELEBIHKAN sebagian ahli waris atas yang lain dalam mendapatkan bagian warisan.

Hal ini berdasarkan firman Allah:
Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang TELAH DITETAPKAN.” (An Nisa’ 7)

Kemudian Allah menyatakan:

مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ

Sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan TIDAK MEMBERI MADHARAT (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.” (An Nisa’ 12)

Juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam :

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ، مَنْ ضَارَّ ضَارَّهُ اللَّهُ، وَمَنْ شَاقَّ شَاقَّهُ اللَّهُ

TIDAK BOLEH MENIMBULKAN KEMUDHARATAN dan TIDAK BOLEH MEMBUAT ORANG LAIN TERKENA MUDHARAT. Barangsiapa yang berbuat kemudharatan maka Allah akan menimpakan mudharat kepadanya. Dan barangsiapa yang membuat permusuhan maka Allah akan memusuhinya.”
(HR. Ad Daruquthni (522) dan Al-Hakim, dari Abu Sa’id al-Khudri (2/57-58). Lihat Al-Irwa’ (888))

Wasiat yang mengandung kejahatan, TIDAK SAH dan TERTOLAK.

Hal ini berdasarkan sabda beliau:

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengada-adakan (sesuatu yang baru) dalam urusan (agama) kami ini yang bukan berasal darinya, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Al-Bukhari (2697) dan Muslim, dari Ummul Mukminin Aisyah (1718))

bersambung, insya Allah

Majmu’ah Manhajul Anbiya

Terbaru

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca juga
Close
Back to top button