Fatawa

Haruskah Mengqadha Kewajiban yang Ditinggalkan Karena Bodoh Atau Tidak Tahu?

???? Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah
(Mufti Umum Kerajaan Arab Saudi, Ketua Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa, Ketua Lembaga Ulama Senior Arab Saudi)

السؤال
علي صلاة بسبب تسقيط جنين عمره سبعة أسابيع، لم أصل جهلا مني؛ لأنني اعتبرت أنه نفاس، وكيف القضاء وتركت الصلاة لمدة نصف شهر لا أدري أكثر أو أقل هل يجوز أن أصلي في منى صلاتين التي علي من قبل ثلاث سنوات والصلاة الواجبة؟

الجواب
إذا كان الجنين قد بان فيه علامة الإنسان من يد أو رجل فهو نفاس، وإن كان ما بان فيه شيء إنما هو دم فقط، فالمرأة تصلي وتتحفظ بحفائظ وتتوضأ لكل صلاة وتصلي، وإن قضيت هذا احتياطا، وإلا إن شاء الله ليس عليك شيء لأنك تركتها لشبهة تظنين ليس عليك شيء، والنبي صلى الله عليه وسلمما أمر المستحاضات اللواتي تركن الصلوات لشبهة ما أمرهن بالقضاء، ولم يأمر الأعرابي الذي ينقر الصلاة ما أمره أن يقضي الأيام الماضية لجهله، وإن قضيتها فلا بأس، ولكن لا يلزمك ذلك، لأنك جاهلة، وإن كان فيه علامة إنسان؛ لأنه في الطور الثالث قد يكون فيه يد أو رجل، في الأربعين الثالثة قد يبين فيه يد أو رجل أو رأس يكون نفاسا، لا تصلي ولا تصومي، والمقصود أنه ليس عليك قضاء؛ لأجل الشبهة، وإنما عليك التوبة والحرص في المستقبل.

 (مجموع فتاوى ومقالات متنوعة للشيخ بن باز ج ٢٩ ص ١٣٠ ١٣١)

Pertanyaan:
Saya memiliki tanggungan shalat karena keguguran ketika janin berumur 7 minggu. Saya pun tidak shalat disebabkan kejahilan saya. Karena waktu itu saya menganggap darah yang keluar (pasca keguguran) adalah darah nifas.
Maka bagaimanakah cara mengqadhanya? Sementara ketika itu saya telah meninggalkan shalat dalam rentang waktu setengah bulan, entah lebih atau kurang. Apakah diperkenankan bagi saya yang sedang di Mina untuk menunaikan shalat-shalat yang saya tinggalkan 3 tahun yang lalu, sedangkan shalat hukumnya adalah wajib?

Jawaban:
Apabila ketika itu janin (yang keguguran) telah tampak bentuk tubuh manusia berupa tangan atau kaki, maka (darah yang keluar) teranggap darah nifas.

Adapun jika janin tersebut belum tampak bentuk tubuh manusia sedikitpun, maka itu teranggap darah biasa saja. (Dalam kondisi demikian) seorang wanita tetap wajib mengerjakan shalat dan hendaknya dia memakai pembalut (untuk menahan darah tersebut) serta (disyariatkan) baginya untuk berwudhu pada setiap shalat.

Jika engkau mengqadha shalatmu dalam rangka berhati-hati (maka yang demikian boleh, pen), walaupun insyaAllah sebenarnya tidak ada kewajiban bagimu untuk mengqadhanya, karena engkau meninggalkan shalat tersebut karena ada sebuah kerancuan dibenakmu, yaitu engkau mengira bahwa yang demikian tidak mengharuskan untuk shalat.

Terhadap para wanita (dari kalangan shahabat) yang mengalami istihadhah dan meninggalkan shalat karena sebuah kerancuan di benak mereka (yaitu karena mengira bahwa istihadhah mengharuskan tidak shalat, pen), maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun tidak memerintahkan mereka untuk mengqadha shalat.

Begitu juga seorang badui yang shalatnya seperti ayam yang mematuk (karena gerakan shalatnya yang begitu cepat, pen) beliau pun tidak memerintahkannya untuk mengqadha shalatnya di masa lampau karena kejahilannya.

Sehingga (sekali lagi) jika engkau ingin mengqadhanya maka yang demikian tidak mengapa, namun itu tidak wajib atasmu. Karena engkau tidak tahu.

Namun jika saat keguguran, janin tersebut sudah tampak bentuk manusia, karena sudah masuk pada fase ketiga (dari perkembangan janin dalam kandungan, pen) baik berupa bentuk tangan, kaki ataupun kepala. Sebagaimana diketahui, pada fase perkembangan janin di periode 40 hari yang ketiga mulai terbentuk wujud tangan, kaki atau kepala janin. Maka jika terjadi keguguran pada masa tersebut, darah yang keluar teranggap darah nifas. Jika kondisinya demikia, maka engkau tidak boleh shalat dan berpuasa.

Maksud dari penjelasan ini semua, bahwa tidak ada kewajiban atasmu untuk mengqadha, karena adanya kerancuan padamu. Hanyalah yang diwajibkan atas engkau sekarang adalah bertaubat (atas kejahilan tersebut) dan bersungguh-sungguh untuk lebih memperhatikan hal-hal yang demikian dimasa mendatang.

[Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah 29/130-131]

Catatan:
Ini juga pendapat yang dipegang oleh Syeikhul lslam lbnu Taimiyah (Lihat Majmu Fatawa 22/101-102) dan Asy-Syaikh lbnul Utsaimin (lihat Liqoaatil Bab al-Maftuh, kaset no 79)

Terbaru

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca juga
Close
Back to top button